Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari gagal Fokus ke Fokus yang Gagal : Catatan Seorang ADHD

9 April 2025   10:05 Diperbarui: 8 April 2025   11:06 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
milik pribadi, illustrasi : chatgpt.com

Dari Gagal Fokus ke Fokus yang Gagal: Catatan Seorang ADHD

Aku terbiasa merasa bersalah karena tidak produktif. Atau lebih tepatnya, merasa tidak cukup.
Tidak cukup disiplin.
Tidak cukup fokus.
Tidak cukup berguna.

Sebagai seseorang yang hidup dengan ADHD dan disleksia sejak kecil, rasa bersalah ini seperti suara latar yang tak pernah benar-benar diam. Setiap malam, aku menatap daftar to-do yang penuh tapi tak tergaris satu pun. Padahal, sepanjang hari aku merasa kelelahan luar biasa. Anehnya, tak ada satu pun hal yang bisa kuingat sebagai pencapaian.

"Apa sih yang kamu lakukan seharian? Main-main terus?"
Kalimat seperti itu sudah seperti backsound harian dari orang-orang di sekitarku. Kadang dari guru, kadang dari keluarga, kadang dari diriku sendiri.

ADHD bukan sekadar "gampang terdistraksi".
Ini adalah perang harian dengan otak sendiri.

Kami sulit memulai sesuatu kecuali tugas itu memenuhi kriteria INCUP: Interest, Novelty, Challenge, Urgency, Passion. Dan jujur saja, berapa banyak pekerjaan hidup yang benar-benar menarik, baru, menantang, mendesak, dan penuh gairah sekaligus? Hampir tidak ada.

Sering kali aku malah tenggelam dalam hyperfocus yang salah arah. Aku bisa habiskan waktu berjam-jam ngulik ide yang random, padahal ada deadline menunggu. Dan saat semuanya selesai, yang kuingat hanyalah apa yang belum kulakukan. Otakku menolak mengakui keberhasilan kecil dan lebih suka menyorot kegagalan besar. Itulah kenapa aku sering merasa seperti gagal... bahkan ketika aku sudah berusaha sekuat tenaga.

Sampai suatu hari aku membaca esai dari David Owen.
Ia menulis tentang bagaimana ia berusaha menyusun rekaman harian hidupnya lewat catatan kecil dan scrapbook. Bukan sesuatu yang biasa kulakukan aku terlalu impulsif, tanganku terlalu cepat bergerak untuk hal-hal yang teliti seperti itu. Tapi ada satu ide yang menancap dalam: mencatat apa yang telah kulakukan, bukan cuma apa yang harus dilakukan.

Aku mulai mencoba. Bukan jurnal panjang, bukan agenda sempurna, hanya daftar hal-hal yang benar-benar kulakukan hari itu.
Kadang cuma:

  • Bantu adik belajar
  • Cuci piring
  • Kirim email penting
  • Istirahat karena butuh

Dan tiba-tiba, ada rasa lega. Aku menyadari, hari itu tidaklah kosong. Aku tidak "malas." Aku hanya berjuang dengan cara yang tak terlihat. Setiap titik kecil di catatan itu seperti bukti bahwa aku hadir, aku bergerak, aku hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun