Dampak Sosial dan Emosional Disleksia: Antara Luka dan Kekuatan
Bayangkan ini: Setiap hari adalah medan perang.
Bukan melawan senjata atau musuh di luar sana, tapi melawan huruf-huruf yang menari di halaman buku. Melawan angka-angka yang berputar seperti pusaran air dalam kepala. Melawan suara guru yang terdengar seperti dengungan tanpa makna.
Aku ingin belajar, sungguh. Aku ingin membaca secepat teman-temanku, menulis serapi mereka, dan mengangkat tangan dengan percaya diri saat guru bertanya. Tapi kenyataannya... aku membutuhkan waktu lebih lama hanya untuk membaca satu paragraf. Aku harus mencurahkan seluruh energiku hanya untuk menyalin tulisan dari papan tulis.
Dan di tengah perjuangan itu, datanglah komentar yang menyayat:
"Kamu malas."
"Coba dong lebih serius belajarnya."
"Kamu cuma cari perhatian."
Bahkan yang paling menyakitkan:
"Kamu bodoh."
Kata-kata itu... tidak hanya singgah di telinga. Mereka tinggal.
Menempel di hati.
Mengikis kepercayaan diri.
Membuatku bertanya:
"Apa ada yang salah denganku?"
Saat teman-teman bisa tertawa bebas di sekolah, aku sibuk menyembunyikan buku agar tidak diminta membaca. Sibuk mencari alasan agar tak ikut ujian. Sibuk berpura-pura kuat saat sebenarnya ingin menangis.
Tapi yang perlu kalian tahu...
Aku tidak sendiri.
Ada ribuan, bahkan jutaan anak di luar sana yang merasakan hal yang sama. Anak-anak dengan disleksia, yang terus mencoba bertahan di dunia yang belum siap memahami mereka.
Mereka tidak gagal. Mereka hanya berbeda.
Tapi dunia sering memaksa kita untuk sama.
Dunia menciptakan standar tunggal lalu menyalahkan mereka yang tidak cocok ke dalamnya.
Namun, dengarkan ini...
Perbedaan bukan sebuah kesalahan.
Disleksia bukan sebuah cacat.
Disleksia adalah cara berpikir yang lain.
Einstein, Da Vinci, Steve Jobs... mereka semua punya disleksia. Mereka bukan orang yang "gagal". Mereka adalah pemikir hebat yang melihat dunia dengan cara yang unik. Mereka menciptakan, membayangkan, dan membentuk dunia dengan sudut pandang yang tak bisa ditiru oleh pikiran biasa.