Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bulliying, Luka Tak Terlihat dan Dampaknya Nyata

29 Maret 2025   08:55 Diperbarui: 6 April 2025   09:33 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bullying terhadap anak dengan disleksia bukan hanya soal ejekan atau cemoohan yang terang-terangan terdengar di koridor sekolah. Lebih dari itu, bullying hadir dalam bentuk yang lebih sunyi pengabaian. Aku tahu betul rasanya, karena aku pernah ada di posisi itu.

Sejak kecil, membaca adalah mimpi buruk. Huruf-huruf seolah menari di depan mataku, melompat-lompat tanpa arah. Di kelas, aku selalu tertinggal. 

Teman-teman enggan mengajak aku bekerja dalam kelompok. Bukan karena aku jahat, bukan karena aku tidak punya ide, tapi karena aku "terlalu lambat". Aku butuh waktu lebih lama untuk membaca, memahami, dan menjelaskan ide-ideku. Bukannya didengar, aku malah sering jadi anak cadangan yang namanya hanya dicatat demi melengkapi jumlah kelompok, tanpa benar-benar dianggap ada.

Tak jarang, guru juga ikut menyumbang luka. Bukan karena mereka jahat, tetapi karena mereka tidak paham. Ketika aku sulit fokus, saat aku bolak-balik lupa instruksi, mereka menganggap aku malas atau tidak peduli. 

Padahal, di balik meja itu, aku sedang berjuang melawan kekacauan dalam pikiranku sendiri. Aku ingin fokus, tapi otakku bergerak terlalu cepat, lompat dari satu hal ke hal lain tanpa aku mampu mengendalikannya. 

ADHD-ku membuatku sering disebut "anak gaduh", sementara disleksiaku membuatku dicap "bodoh".

Bullying terhadap anak dengan disleksia dan ADHD memang tidak selalu berupa pukulan atau dorongan di lorong sekolah. Kadang, bullying hadir dalam bentuk tatapan meremehkan, bisik-bisik di belakang, atau sekadar menarik kursi menjauh saat aku mencoba mendekat. Pengabaian itu terasa jauh lebih menyakitkan dibanding teriakan atau makian. Sebab saat kau diabaikan, kau merasa tak ada.

Penelitian yang dilakukan oleh Rose dan Gage (2016) menegaskan apa yang aku rasakan. Anak-anak dengan kesulitan belajar seperti disleksia memiliki risiko lebih tinggi mengalami perundungan dibandingkan teman-teman mereka yang lain. 

Disleksia membuat kami terlihat berbeda dan di sekolah, perbedaan seringkali dianggap sebagai kelemahan, bukan kekayaan.

Tapi yang tidak mereka tahu, di balik semua kekurangan itu, aku belajar bertahan. Aku belajar menemukan caraku sendiri untuk memahami dunia. Aku belajar memeluk semua kekacauan dalam diriku, menjadikannya bahan bakar untuk terus melangkah.

Dan untuk semua anak disleksia, ADHD, atau siapapun yang pernah merasa sendiri di sudut kelas, aku ingin kalian tahu:
"Kita mungkin terluka, tetapi kita juga bertahan. Kita mungkin lambat, tetapi kita tetap bergerak. Dan ingat, nilai kita tidak ditentukan oleh seberapa cepat kita membaca, tetapi seberapa berani kita terus bermimpi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun