Melawan Stigma, Merangkul Perbedaan: Perjalanan Seorang Guru Disleksia-ADHD dalam Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus"
Aku tumbuh dalam dunia yang tidak dirancang untuk orang sepertiku dunia yang penuh dengan aturan kaku tentang bagaimana seseorang harus berpikir, berbicara, dan belajar. Sebagai seorang penyandang disleksia dan ADHD, kata-kata tidak pernah datang dengan mudah bagiku. Aku selalu kesulitan memahami teks tertulis, huruf-huruf yang seakan menari di hadapanku, dan aturan sosial yang sering kali terasa membingungkan. Namun, di balik semua itu, aku menemukan cara berpikir yang berbeda cara yang tidak konvensional, penuh imajinasi, dan sarat dengan kreativitas.
Sekarang, aku adalah seorang guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Ironis? Mungkin. Tapi juga sebuah perjalanan yang membawaku pada pemahaman lebih dalam tentang apa artinya menjadi manusia yang 'berbeda'. Aku tahu betapa sulitnya merasa tidak cukup baik, tidak cukup pintar, atau tidak cukup 'normal'. Aku tahu bagaimana rasanya mencoba memahami pelajaran yang ditulis dalam sistem yang tidak dirancang untuk cara otakku bekerja.
Namun, di balik setiap kesulitan, ada cara baru untuk melihat dunia.
Dunia mengajarkan kita untuk percaya bahwa ada satu cara 'benar' untuk belajar, berbicara, dan berinteraksi. Namun, teori-teori dari para ahli justru membuktikan sebaliknya.
Dr. Howard Gardner dengan Teori Multiple Intelligences-nya mengatakan bahwa kecerdasan tidak hanya sebatas kemampuan akademis. Anak-anak dengan disleksia mungkin lemah dalam membaca, tetapi mereka bisa menjadi pemikir visual yang luar biasa. Mereka bisa melihat pola yang tidak dilihat orang lain, memahami dunia melalui gambar dan konsep, bukan melalui kata-kata tertulis.
Dr. Russell Barkley, seorang ahli ADHD, menjelaskan bahwa otak ADHD bukanlah otak yang 'malas' atau 'tidak disiplin', melainkan otak yang bekerja dengan cara yang berbeda. Kami bukan tidak bisa fokus, kami hanya kesulitan mengarahkan fokus pada hal yang tidak menarik bagi kami. Ketika seseorang dengan ADHD menemukan sesuatu yang menarik, mereka bisa masuk dalam keadaan hyperfocus sebuah kondisi di mana dunia luar menghilang, dan hanya ada satu hal yang memenuhi pikiran mereka.
Namun, masyarakat sering kali tidak memahami ini. Kita hidup di dunia yang menuntut keseragaman dan kepatuhan. Anak yang berbeda dianggap sebagai masalah, bukan sebagai individu dengan cara berpikir unik. Jika anak-anak seperti kita dianggap 'bermasalah', pertanyaannya: siapa yang sebenarnya bermasalah kami atau sistem yang tidak mampu memahami keberagaman cara berpikir?
Aku ingat saat pertama kali masuk kelas sebagai seorang guru. Aku bukan guru yang 'biasa'. Aku bukan sosok yang selalu rapi dengan buku catatan yang tersusun sempurna. Aku sering lupa di mana aku meletakkan sesuatu, dan aku tidak bisa menghafal teks panjang seperti guru lainnya. Tapi ada satu hal yang aku punya: empati.
Ketika aku melihat seorang anak yang kesulitan membaca, aku tahu betul rasa frustrasi itu. Aku tahu bagaimana rasanya berusaha memahami sesuatu yang tidak masuk akal bagi otak kita. Aku tahu bagaimana rasanya dianggap bodoh hanya karena cara kita memahami dunia berbeda.