Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cara Tersemunyi Melarikan Diri dari Trauma

12 Maret 2025   13:24 Diperbarui: 12 Maret 2025   10:21 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cara Tersembunyi Kita Melarikan Diri dari Trauma

Bagaimana 'Menghilang' Menjadi Cara Bertahan Hidup

Peringatan: Tulisan ini mengandung pengalaman pribadi dan pembahasan mengenai trauma, tantangan emosional, serta dinamika kehidupan dengan gangguan neurodivergen seperti disleksia dan ADHD. Harap membaca dengan bijak.

Aku masih ingat hari-hari ketika aku ingin menghilang, Bukan dalam arti fisik, tetapi secara mental dan emosional. Aku tumbuh dengan disleksia dan ADHD, dua kondisi yang sering kali disalahpahami, bahkan oleh orang-orang terdekat. Di sekolah, aku tidak hanya merasa tertinggal dalam membaca dan menulis, tetapi juga merasa seperti seorang asing di dunia yang tampaknya bergerak terlalu cepat untukku. Setiap huruf yang kulihat seperti menari di halaman, angka-angka menjadi musuh yang menakutkan, dan pikiranku melompat dari satu pemikiran ke pemikiran lain tanpa kendali.

Dalam sistem pendidikan yang menuntut ketertiban dan keseragaman, aku menjadi "masalah" yang harus diperbaiki. Guru-guruku memarahiku karena tidak fokus, teman-teman mengejek caraku membaca, dan orang-orang dewasa di sekitarku mempertanyakan kecerdasanku. Pada titik tertentu, aku belajar untuk menghilang. Tidak secara fisik, tetapi secara mental. Aku menjadi anak yang diam, menarik diri, dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Inilah bentuk pelarianku dari trauma yang kubawa sejak kecil.

Dr. Gabor Mat, seorang ahli di bidang trauma dan kesehatan mental, menjelaskan bahwa "trauma bukanlah tentang apa yang terjadi pada kita, tetapi tentang apa yang terjadi di dalam diri kita sebagai respons terhadap apa yang terjadi." Trauma bisa membentuk cara kita melihat dunia dan diri sendiri. Bagi banyak individu dengan disleksia dan ADHD, trauma bukan hanya berasal dari lingkungan keluarga yang mungkin tidak memahami, tetapi juga dari sistem pendidikan yang kaku dan penuh ekspektasi tidak realistis.

Dalam bukunya The Body Keeps the Score, Dr. Bessel van der Kolk menjelaskan bagaimana trauma dapat mengubah cara otak kita merespons dunia. Salah satu bentuk respons yang umum adalah "menghilang" atau menarik diri sebagai mekanisme pertahanan. Ini adalah cara otak kita untuk melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu besar untuk ditanggung. Ini terjadi dalam banyak bentuk:

  • Menghindari interaksi sosial karena takut dinilai atau diejek.
  • Tenggelam dalam dunia fantasi atau kreativitas sebagai cara untuk menghindari kenyataan yang menyakitkan.
  • Menjadi perfeksionis atau overachiever untuk menutupi perasaan tidak cukup baik.
  • Mengenakan "topeng" agar bisa diterima oleh lingkungan, meskipun di dalam merasa hancur.

Aku pernah mencoba semuanya. Aku mencoba menjadi "anak pintar" dengan mencari cara lain untuk membuktikan diri. Aku berpura-pura paham pelajaran, aku meniru teman-temanku, dan aku belajar untuk menutupi kekuranganku dengan humor. Tetapi semakin lama aku berusaha melarikan diri dari diriku sendiri, semakin aku kehilangan siapa diriku sebenarnya.

Aku tidak bisa selamanya menghilang. Pada akhirnya, aku harus menemukan jalan untuk menerima diriku sendiri. Sebagai seorang guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus, aku kini melihat gambaran yang lebih besar: anak-anak seperti aku dulu, yang berjuang dengan huruf-huruf yang menari, yang otaknya tidak bisa diam, yang merasa mereka tidak cukup baik hanya karena mereka belajar dengan cara yang berbeda. Aku melihat mereka mencoba bertahan dengan cara yang sama---menghilang, menarik diri, atau berpura-pura.

Tapi inilah yang aku pelajari: trauma tidak harus menjadi akhir dari cerita kita. Kita bisa memilih untuk menulis ulang narasi kita sendiri.

  1. Menyadari bahwa perbedaan bukanlah kegagalan. Neurodivergensi bukanlah kekurangan, melainkan variasi alami dalam cara otak kita bekerja. Dr. Thomas Armstrong dalam bukunya The Power of Neurodiversity menegaskan bahwa "kita harus berhenti melihat disleksia, ADHD, dan kondisi neurodivergen lainnya sebagai gangguan, tetapi sebagai keunikan yang memiliki kekuatan tersendiri."
  2. Menciptakan lingkungan yang aman untuk belajar dan berkembang. Sebagai seorang guru, aku berusaha memastikan bahwa kelas bukanlah tempat di mana anak-anak harus bertahan hidup, tetapi tempat di mana mereka bisa menjadi diri sendiri dan merasa dihargai.
  3. Menemukan komunitas yang mendukung. Kita tidak harus berjuang sendirian. Mencari orang-orang yang memahami dan menerima kita apa adanya bisa menjadi langkah besar dalam proses penyembuhan.

Aku dulu merasa bahwa dunia ini tidak dibuat untuk orang seperti aku. Tetapi sekarang, aku sadar bahwa kita tidak harus menyesuaikan diri dengan dunia kita bisa menciptakan dunia yang lebih menerima untuk kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun