Disleksia bukan hanya tentang kesulitan membaca atau menulis, tetapi jauh lebih luas dari itu. Ini adalah spektrum tantangan yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan seseorang.Â
Saya sering kali merasa disleksia lebih seperti kumpulan puzzle yang tersebar, yang butuh dirangkai secara perlahan untuk membentuk gambaran diri yang utuh.Â
Dalam perjalanan saya, setiap tantangan yang dihadapi adalah sebuah potongan puzzle ada yang menyakitkan, ada yang membawa pencerahan, tapi semuanya berharga.
Bagi saya, pengalaman disleksia adalah pengalaman hidup yang terus berputar, naik-turun, baik di dalam kelas maupun di luar.Â
Setiap hari adalah perjuangan untuk menemukan "tempat" dalam dunia yang tampaknya tidak dirancang untuk saya. Tapi, meski begitu, dunia ini tetap milik saya juga, hanya dengan cara yang berbeda.
Saat berusia sembilan tahun, saya ingat betul perasaan frustasi yang menghantui setiap kali berusaha membaca. Huruf-huruf di depan saya seakan hidup, menari-nari di halaman buku, seolah mereka tahu saya tidak bisa menangkapnya.Â
Setiap kalimat seperti teka-teki yang terpecah-pecah, tetapi ketika saya berusaha merangkainya, semuanya berantakan lagi.Â
Sekolah terasa seperti 'neraka',tempat di mana saya merasa ditelanjangi oleh ketidakmampuan saya sendiri, dan lebih buruk lagi, oleh ketidakpahaman orang-orang di sekitar saya.
Satu kejadian yang tak terlupakan adalah ketika saya berada di kelas tiga SD. Guru meminta saya membaca di depan kelas. Saya tahu saya tidak akan bisa melakukannya dengan lancar.Â
Saya tahu saya akan kesulitan. Tetapi ketika saya membuka mulut, kata-kata itu tidak mau keluar. Saya terpaku pada halaman, berjuang untuk memahami apa yang tertulis, tetapi huruf-huruf itu terus kabur dan berganti posisi di mata saya.Â
Akhirnya, setelah beberapa menit keheningan yang menyiksa, guru saya berteriak, "Kamu ini bodoh atau apa?!" Semua mata tertuju pada saya, dan saat itu juga, saya merasa kecil, terperangkap, dan tak berdaya. Kata-kata guruku menusuk lebih dalam daripada kesulitan saya sendiri.