Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perjalanan ADHD : Antara Bertahan dan Sembuh

6 Februari 2025   11:59 Diperbarui: 6 Februari 2025   11:59 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan ADHD: Antara Bertahan dan Sembuh

Aku sudah mencari cara untuk "memperbaiki diri" sejak lama. Sejak kecil, aku tahu ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Aku tidak bisa fokus seperti anak-anak lain, tulisan tanganku kacau, dan membaca terasa seperti berperang dengan huruf-huruf yang menari di depan mata. Aku sering dimarahi karena dianggap tidak berusaha cukup keras, padahal aku sudah berjuang sekuat tenaga. Saat itulah aku mulai bertanya-tanya: Apa yang salah denganku? Kenapa dunia terasa begitu sulit untuk dipahami dan dihadapi?

Perjalanan mencari jawaban itu panjang dan melelahkan. Aku menjalani berbagai tes, menemui dokter, psikolog, dan spesialis. Setiap sesi terasa seperti menelanjangi diri sendiri, mencoba memahami bagian-bagian dari otakku yang tidak bisa kukendalikan. Sampai akhirnya, aku mendapat diagnosis: disleksia dan ADHD. Rasanya seperti menemukan kepingan terakhir dari puzzle yang selama ini hilang. Aku akhirnya memahami kenapa otakku bekerja dengan cara yang berbeda, kenapa aku kesulitan membaca, kenapa pikiranku selalu sibuk dan sulit diam. Tapi di saat yang sama, aku juga merasa marah dan sedih kenapa butuh waktu begitu lama bagiku untuk memahami diri sendiri? Kenapa aku harus melewati begitu banyak kesalahpahaman dan rasa sakit sebelum akhirnya mendapatkan jawaban?

Ketika diagnosis itu datang, aku berpikir bahwa segala usaha dan perjuanganku selama ini sia-sia. Aku telah menghabiskan bertahun-tahun menyalahkan diri sendiri atas sesuatu yang bukan salahku. Aku mengira aku bodoh, malas, tidak cukup baik. Aku juga menyalahkan orang lain guru, teman, bahkan keluargaku karena tidak mengerti apa yang aku alami. Tapi pada saat yang sama, aku juga gagal melihat bahwa ada hal-hal yang memang menjadi tanggung jawabku, bahwa ada bagian dari diriku yang harus aku terima dan kelola sendiri. Aku menyadari bahwa diagnosis bukanlah jawaban akhir, melainkan pintu awal untuk memahami diriku lebih dalam.

Memahami ADHD dan disleksia bukan berarti semua masalah selesai. Aku masih harus menghadapi tantangan sehari-hari: manajemen waktu yang berantakan, kesulitan fokus, impulsivitas, dan kelelahan mental yang sering datang tanpa peringatan. Aku masih belajar membedakan kapan aku perlu berjuang, kapan aku perlu menerima, dan kapan aku harus melepaskan. Apakah aku sedang benar-benar menyembuhkan diri, atau hanya bertahan agar tetap bisa berjalan? Aku sering merasa berada di antara dua titik: ingin sembuh dari semua luka masa lalu, tetapi juga hanya ingin bisa menjalani hari tanpa merasa kelelahan secara emosional dan mental.

Ada hari-hari ketika aku merasa baik-baik saja, bisa menerima diriku dengan segala keunikannya. Aku bisa melihat ADHD bukan hanya sebagai gangguan, tetapi juga sebagai bagian dari siapa diriku. Kreativitasku, cara berpikirku yang berbeda, dan ketidakmampuanku untuk diam terlalu lama adalah bagian dari keistimewaanku. Tapi ada juga hari-hari di mana aku merasa lelah, ingin berhenti mencoba, ingin menyerah pada keadaanku. Dalam momen-momen seperti itu, aku bertanya pada diri sendiri: Apakah aku harus lebih keras pada diri sendiri, atau justru aku perlu memberi diriku ruang untuk bernapas? Apakah aku harus memaksa diriku berubah, atau cukup belajar hidup berdampingan dengan diriku sendiri?

Dulu, aku berpikir bahwa kebahagiaan hanya akan datang jika aku bisa menjadi "normal." Jika aku bisa belajar membaca dengan lancar, jika aku bisa fokus seperti orang lain, jika aku bisa bekerja tanpa terdistraksi setiap lima menit. Tapi sekarang, aku mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari menjadi seperti orang lain. Kebahagiaan datang dari menerima diri sendiri, dari memahami bahwa cara berpikirku yang unik juga memiliki nilai. Aku mungkin tidak akan pernah menjadi seperti yang diharapkan oleh sistem, tetapi aku bisa menjadi versi terbaik dari diriku sendiri dengan caraku sendiri.

Kini, aku tidak lagi mencari cara untuk "memperbaiki diri" karena aku sadar, aku tidak rusak. Aku hanya berbeda. Aku masih belajar, masih memproses, masih menyusun ulang cara pandangku terhadap dunia dan terhadap diriku sendiri. Dan itu tidak apa-apa. Aku tidak harus sempurna untuk bisa menerima diriku sendiri. Aku hanya perlu ada, hidup, dan menjadi versi terbaik dari diriku bukan versi terbaik yang diinginkan dunia. Aku ingin berhenti bertahan hanya untuk bertahan, dan mulai hidup untuk benar-benar merasakan hidup.

"Penyembuhan bukan tentang menghilangkan semua luka, tetapi tentang belajar hidup dengan luka-luka itu tanpa kehilangan diri sendiri."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun