Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Peran Anak Disleksia dalam Keberagaman Dunia

4 Februari 2025   18:03 Diperbarui: 4 Februari 2025   12:01 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peran Anak Disleksia dalam Keberagaman Dunia

Dunia ini seperti sebuah puzzle raksasa yang terdiri dari berbagai warna, bentuk, dan ukuran. Setiap kepingan memiliki tempatnya sendiri untuk menciptakan gambaran yang utuh dan indah. Anak-anak dengan disleksia adalah bagian dari puzzle ini---unik, berbeda, tetapi tetap penting dalam membangun keberagaman kehidupan. Namun, masih banyak orang yang melihat mereka sebagai "cacat" atau "kurang pintar," hanya karena cara mereka memproses informasi berbeda dari kebanyakan orang.

Sebagai seseorang yang tumbuh dengan disleksia dan ADHD, aku tahu betul bagaimana rasanya menjadi bagian dari sistem yang tidak memahami keunikanku. Sejak kecil, membaca bukanlah hal yang mudah bagiku. Huruf-huruf seakan menari di atas kertas, kata-kata berubah posisi, dan angka terasa tak memiliki makna. Aku sering dianggap malas, bahkan bodoh. Padahal, aku hanya memiliki cara berbeda dalam memahami dunia. Pengalaman ini sejalan dengan penelitian Shaywitz (2003), yang menyatakan bahwa disleksia bukanlah akibat kurangnya kecerdasan, melainkan perbedaan dalam pemrosesan bahasa di otak.

Ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa disleksia bukanlah akibat kurangnya usaha atau kecerdasan rendah, melainkan hasil dari perbedaan dalam struktur dan fungsi otak. Sally Shaywitz dalam bukunya Overcoming Dyslexia menjelaskan bahwa individu dengan disleksia mengalami kesulitan dalam menghubungkan suara dengan simbol huruf, yang disebabkan oleh aktivitas otak yang berbeda di area pemrosesan bahasa. Faktor genetik dan lingkungan juga berperan dalam membentuk bagaimana seorang anak dengan disleksia memproses bahasa dan informasi. Dengan kata lain, kami lahir seperti ini, bukan karena pilihan kami. Namun, bukan berarti kami tidak bisa belajar atau berkembang.

Yang dibutuhkan bukan belas kasihan, tetapi pemahaman. Anak-anak dengan disleksia tidak butuh diperlakukan secara istimewa, tetapi mereka membutuhkan cara belajar yang sesuai dengan cara otak mereka bekerja. Stanislas Dehaene (2009), seorang ahli saraf kognitif, menjelaskan bahwa otak manusia memiliki plastisitas yang memungkinkan individu dengan disleksia mengembangkan metode pembelajaran alternatif, seperti pemahaman berbasis gambar, pengalaman langsung, atau pendekatan multisensori. Menghafal teks panjang mungkin sulit, tetapi kami mampu berpikir kreatif dan menemukan solusi inovatif. Kami bisa memahami konsep yang kompleks melalui pengalaman nyata, visual, atau cerita dibanding sekadar membaca deretan kata.

Sayangnya, banyak guru dan orang tua yang masih terjebak dalam paradigma bahwa kecerdasan hanya diukur dari kemampuan membaca dan menulis. Aku pernah mengalami bagaimana nilai rendah membuatku dianggap tidak memiliki masa depan. Padahal, jika diberikan kesempatan dengan metode yang tepat, anak-anak dengan disleksia bisa berkembang dengan luar biasa. Penelitian Gerschwind dan Galaburda (1985) menunjukkan bahwa individu dengan disleksia sering memiliki keunggulan dalam bidang kreatif, pemikiran spasial, dan pemecahan masalah yang inovatif. Aku sendiri akhirnya menemukan caraku sendiri untuk belajar, memahami, dan bahkan mengajarkan orang lain tentang dunia yang dulu terasa menakutkan bagiku.

Masyarakat yang inklusif bukanlah tentang memberi toleransi kepada mereka yang berbeda, tetapi tentang menerima bahwa setiap individu memiliki keunikannya sendiri. Dengan memahami dan menghargai cara berpikir anak-anak disleksia, kita sedang membangun dunia yang lebih adil dan penuh warna. Karena pada akhirnya, mereka bukanlah "kesalahan" dalam sistem, melainkan bagian penting dari keragaman intelektual yang menjadikan dunia ini lebih kaya.

"Kami bukan rusak, kami bukan cacat kami hanya berbeda. Dan perbedaan itu bukan sesuatu yang harus diperbaiki, melainkan sesuatu yang harus dihargai."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun