Disleksia dan Kesenjangan Akses: Kisah Perjuangan dalam Setiap Huruf
Disleksia bukan hanya tentang kesulitan membaca, menulis, atau mengeja. Ini adalah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan, terutama bagi mereka yang hidup dalam lingkungan yang kurang memahami kondisi ini. Sebagai seseorang yang tumbuh dengan disleksia dan ADHD, saya tahu betul bagaimana rasanya berjuang melawan huruf yang seakan-akan menari di atas kertas, menghadapi ejekan karena saya dianggap 'bodoh', dan berulang kali harus membuktikan bahwa saya bukan sekadar anak pemalas.
Namun, apa yang saya alami hanyalah sebagian kecil dari gambaran yang lebih besar. Di berbagai komunitas, termasuk komunitas Afrika-Amerika dan kelompok-kelompok yang kurang mendapatkan akses pendidikan berkualitas, disleksia sering kali tidak terdeteksi atau bahkan disalahartikan sebagai kurangnya motivasi atau kecerdasan. Ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan menyebabkan banyak anak dengan disleksia tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.
Menurut Shaywitz et al. (2003), disleksia adalah gangguan belajar berbasis neurobiologis yang memengaruhi kemampuan individu dalam mengenali kata-kata secara akurat dan/atau lancar serta kesulitan dalam mengeja dan mengkodekan kata. Disleksia tidak terkait dengan tingkat kecerdasan, tetapi lebih kepada bagaimana otak memproses informasi berbasis bahasa.
Sayangnya, di Indonesia, kesadaran terhadap disleksia masih rendah. Studi yang dilakukan oleh Rahmawati & Haryono (2019) menunjukkan bahwa mayoritas guru di sekolah dasar tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai disleksia dan kesulitan belajar spesifik lainnya. Akibatnya, anak-anak dengan disleksia sering kali diabaikan atau bahkan dihukum karena dianggap malas dan tidak mau belajar.
Saya melihat sendiri bagaimana sulitnya mendapatkan diagnosis yang benar. Saat kecil, orang tua saya harus berjuang keras agar saya bisa mendapatkan bimbingan yang tepat. Saya pernah dianggap autis, pernah dipaksa duduk diam di kelas sementara kepala saya penuh dengan pikiran yang berloncatan tanpa arah. Saya beruntung karena memiliki orang tua dan guru yang akhirnya memahami, tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki akses ke pendidikan inklusif?
Di Indonesia, banyak sekolah belum memiliki program inklusif yang dapat mengakomodasi kebutuhan anak-anak dengan disleksia. Sebagian besar sekolah masih menerapkan metode pengajaran yang satu arah dan menuntut anak untuk belajar sesuai standar umum. Hal ini semakin memperparah kesenjangan akses bagi anak-anak dengan kesulitan belajar.
Menurut penelitian Kustawan (2018), lebih dari 70% sekolah di Indonesia belum siap menerapkan pendidikan inklusif karena kurangnya pelatihan bagi guru dan minimnya fasilitas pendukung. Anak-anak dengan disleksia sering kali menghadapi tantangan dalam mengikuti pelajaran, terutama dalam
Di komunitas yang kurang mendapatkan perhatian, kesadaran tentang disleksia sering kali tertutup oleh stigma dan kurangnya informasi. Anak-anak yang berjuang dengan huruf dan angka malah dijatuhi label "bodoh", "pemalas", atau "bermasalah". Padahal, jika kita memberi mereka akses yang tepat seperti metode pembelajaran yang sesuai, intervensi dini, serta dukungan emosional mereka bisa berkembang luar biasa.
Saya masih ingat ketika saya dipaksa membaca di depan kelas, sementara huruf-huruf di buku terasa seperti berkedip dan berpindah tempat. Guru saya tidak memahami bahwa saya bukan tidak mau membaca, tetapi saya benar-benar kesulitan memprosesnya. Ini adalah pengalaman yang banyak dialami oleh anak-anak dengan disleksia di Indonesia. Mereka dipaksa mengikuti standar yang tidak mempertimbangkan keberagaman cara belajar.