Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dampak Sosial dan Emosional Disleksia

30 Januari 2025   09:52 Diperbarui: 29 Januari 2025   15:57 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dampak Sosial dan Emosional Disleksia : Antara Luka dan Kekuatan

Aku masih ingat betapa sekolah dulu terasa seperti medan perang. Bukan karena aku tidak ingin belajar, tapi karena huruf-huruf di buku seolah menari dan melompat-lompat, membuatku kesulitan memahami kata-kata yang bagi teman-temanku begitu mudah. Disleksia bukan sekadar kesulitan membaca, tapi juga luka-luka kecil yang menggerogoti rasa percaya diri. Ditambah dengan ADHD, pikiranku seperti mesin yang tidak pernah berhenti, sibuk memikirkan hal-hal yang tak bisa kukendalikan.

Banyak orang tidak memahami betapa dalam dampak emosional disleksia. Dari luar, aku mungkin terlihat seperti anak yang malas atau tidak mau berusaha. "Kamu hanya perlu lebih giat belajar!" Itu kata-kata yang sering kudengar dari guru dan orang-orang di sekitarku. Padahal, aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi tetap saja aku tertinggal. Perasaan gagal itu menumpuk menjadi rasa malu, membuatku bertanya-tanya, "Apa ada yang salah denganku?"

Ketika teman-teman dengan mudah membaca sebuah paragraf, aku masih berkutat dengan satu kalimat. Ketika mereka bisa menyalin tulisan guru dengan rapi, tulisanku tampak berantakan, bahkan aku sendiri kesulitan membacanya kembali. Aku mulai menarik diri, takut ditertawakan, takut dianggap bodoh.

Anak-anak dengan disleksia sering kali mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial. Tidak hanya karena mereka merasa berbeda, tetapi juga karena lingkungan yang tidak selalu mendukung. Aku ingat bagaimana teman-temanku menjuluki aku "Si Lamban," hanya karena aku butuh waktu lebih lama untuk membaca atau memahami soal matematika yang berisi angka dan huruf bercampur. Mereka tidak tahu bahwa di dalam diriku ada ketakutan yang mendalam takut mengecewakan orang tua, takut dihukum guru, takut tidak punya masa depan.

Rasa takut ini berubah menjadi kemarahan dan frustrasi. Beberapa anak dengan disleksia menunjukkan perilaku yang "mengganggu" di kelas bukan karena mereka nakal, tetapi karena mereka bingung dan frustrasi dengan sistem yang tidak memahami mereka. Aku sendiri sering merasa marah tanpa alasan yang jelas, sulit mengendalikan emosiku, dan kadang memilih diam agar tidak menarik perhatian.

Namun, perjalanan ini juga mengajarkanku satu hal: disleksia bukan akhir dari segalanya. Ada banyak orang dengan disleksia yang mampu meraih impian mereka Einstein, Da Vinci, Steve Jobs, mereka semua adalah bukti bahwa keterbatasan bisa menjadi kekuatan. Aku pun mulai menerima bahwa cara belajarku memang berbeda. Aku lebih mudah memahami sesuatu jika melihat gambar, mendengar cerita, atau mencoba langsung. Aku juga menemukan bahwa kreativitas dan pola pikir out-of-the-box adalah kelebihanku.

Seiring waktu, aku belajar bahwa yang paling penting bukanlah seberapa cepat aku membaca atau seberapa rapi tulisanku, tetapi seberapa gigih aku bertahan dan berusaha memahami dunia dengan caraku sendiri. Aku juga menemukan komunitas yang mendukung, guru-guru yang sabar, dan teman-teman yang mau memahami.

Anak-anak dengan disleksia membutuhkan lebih dari sekadar pengajaran akademik. Mereka membutuhkan pemahaman, dukungan emosional, dan strategi belajar yang sesuai. Hal-hal yang bisa membantu mereka antara lain:

  1. Penjelasan yang Jelas tentang Disleksia -- Anak perlu tahu bahwa mereka tidak bodoh, hanya memiliki cara belajar yang berbeda.
  2. Dukungan dari Orang Tua dan Guru -- Lingkungan yang penuh kasih sayang dan dukungan akan membantu mereka mengembangkan rasa percaya diri.
  3. Intervensi yang Tepat -- Teknik membaca berbasis fonik, penggunaan alat bantu visual, dan pendekatan multisensori sangat membantu.
  4. Penerimaan Diri -- Mengajarkan anak untuk melihat kelebihan mereka dan tidak hanya berfokus pada kelemahan.

Aku menulis ini bukan untuk mengeluh, tetapi untuk memberi harapan. Kepada semua anak yang merasa tidak cukup baik karena disleksia atau kesulitan belajar lainnya---kalian bukan gagal, kalian hanya berbeda. Dan berbeda itu tidak salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun