Mohon tunggu...
Imam Assodiq
Imam Assodiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sejarawan Paruh Waktu dan Santri

Penulis saat ini merupakan mahasiswa Sejarah Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rasisme, Stereotip, dan Multikulturalisme

31 Desember 2021   17:39 Diperbarui: 31 Desember 2021   18:12 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Suatu waktu, ketika saya masih di Sumatera, sering saya mendengar ungkapan seperti "Jangan menikah dengan etnis Jawa, selain tidak bisa masak, mereka juga pemalas." Ungkapan ini sering saya dengar dari pembicaraan ibu-ibu saat berkumpul di tangga rumah-rumah panggung yang menjadi arsitektur khas rumah Melayu. Dampaknya, ungkapan ini seolah menjadi stereotip bagi orang Jawa di desa saya, sehingga jarang sekali saya melihat ada pernikahan antara orang Melayu dengan orang-orang Jawa.

Secara historis, orang Jawa yang berdatangan ke daerah-daerah di Sumatera telah dimulai sejak Pemerintahan Kolonial Belanda. Pada masa itu, Mereka ditempatkan di kebun-kebun sebagai pekerja. Belanda juga tampaknya ingin mengurangi kepadatan penduduk pulau Jawa, sehingga mulai terjadi transmigrasi penduduk ke pulau-pulau di luar Jawa. Setelah kemerdekaan, hal ini tetap berlanjut. Pada masa Soekarno, banyak sekali orang Jawa yang dikirim ke Papua. Ketika pemerintah diambil oleh Soeharto, orang-orang Jawa terus dikirim ke berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya di kampung tempat saya tinggal.

Dalam pergaulan sehari-hari, mereka bersikap seperti orang Jawa pada umumnya. Bertutur kata lembut, berusaha untuk melebur ke tengah masyarakat, bahkan beberapa membuka praktik pijet dan obat herbal. Hanya saja, ada persaingan yang timbul dampak dari banyaknya orang Jawa yang berdatangan. Mereka mendapatkan tanah dari pemerintah untuk dikelola, diberi rumah untuk didiami, disediakan sandang dan pangan untuk dikonsumsi yang pada akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial. Pada kondisi seperti ini, kemudian timbul ruang kompetisi antara orang Jawa dan penduduk asli Melayu.

Disadari atau tidak, kompetisi ini kemudian semakin besar dan membuat sebuah dinding pembatas antara "Kita" (Melayu) dan "Mereka" (Jawa). Dalam kondisi seperti ini, rentan sekali muncul apa yang disebut dengan stereotip. Stereotip yang ada di pembuka tulisan ini misalnya, disebabkan oleh beberapa transmigran Jawa memang tidak memiliki keahlian dalam bertani dan mengolah tanah. Apalagi secara geografis, tanah dan iklim daerah tujuan transmigrasi umumnya tidak sesubur tanah vulkanis di Jawa dan Bali. Dampaknya, transmigran tidak mampu berkembang pun tidak mampu menaikkan taraf hidup menjadi lebih baik sehingga muncul stereotip yang dipaksakan oleh orang Melayu (in group) terhadap orang Jawa (out group). Stereotip ini tentu saja subjektif, ia tidak akurat, terlalu umum, dan resisten terhadap informasi baru yang datang belakangan.

Tentu ada begitu banyak stereotip yang ada di tengah masyarakat. Misalnya saja kita kerap mendengar bahwa etnis Tionghoa sebagai kelompok orang yang eksklusif, pelit, menguasai perekonomian dan tidak mau bergaul dengan masyarakat. Kita sering pula melihat orang Papua dianggap bodoh, tertinggal, dan mereka dipanggil dengan "monyet" untuk menunjukkan identitas ras mereka dengan berbagai karakteristik. Disadari atau tidak, manusia memang cenderung untuk melakukan apa yang disebut dengan rasisme. Hal ini yang biasanya cenderung menimbulkan apa yang kita sebut sebagai diskriminasi.

Munculnya stereotip/prasangka ini selain karena adanya persaingan antara beberapa kelompok, ia juga bisa muncul dari proses belajar yang kita terima dari masyarakat (social learning). Puncaknya adalah terjadi pergesekan dan konflik horizontal di tengah masyarakat. Sebut saja misalnya Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi terhadap etnis Tionghoa, Konflik Dayak --- Madura pada Februari 2001 yang berjalan sepanjang tahun dan memakan korban kurang lebih 500--1500 jiwa, ada juga konflik yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya yang kemudian menimbulkan gejolak di Manokwari, Sorong, hingga Fakfak yang disebabkan oleh makian bernuansa rasis. Stereotip/prasangka adalah sikap, sedangkan diskriminasi adalah tindakan atau perilaku.

Multikulturalisme

Sekitar tahun 2011, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Madura, di sebuah pesantren yang santrinya berasal dari berbagai suku dan bangsa. Secara kurikulum tentu apa yang saya pelajari sehari-hari adalah ilmu agama, yang secara praktis dipraktikkan dalam kehidupan bersama santri lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari, para santri tampak harmonis. Tidak ada panggilan monyet terhadap santri-santri yang berasal dari Papua, konflik Dayak --- Madura yang terjadi pada 2001 nampaknya tidak membuat orang Madura menyerang santri yang berasal dari suku Dayak di Kalimantan, begitu pun tidak ada lagi stereotip di kepala saya bahwa orang Jawa itu pemalas, nampaknya orang-orang Jawa merupakan santri yang giat sekali dalam belajar.

Dalam kehidupan dan kebersamaan itu, semua orang dengan kebudayaannya nampak menghormati dan menghargai kebudayaan yang lain. saya belajar kebudayaan mereka, berusaha menempatkan diri sebaik mungkin, walaupun identitas Sumatera sulit sekali dihilangkan, salah satunya ketika berbicara. Dalam kondisi ini, tentu saya tidak beranggapan bahwa multikulturalisme itu adalah apa yang disebut oleh Hector sebagai Melting Pot. Saya tentu tidak sedang berusaha melebur kebudayaan sehingga timbul kebudayaan yang baru. Apa yang saya lakukan lebih kepada mengakui adanya perbedaan dan menghargai perbedaan yang ada. Kallen mungkin akan menyebut hal ini sebagai Salad Bowl, di mana tidak ada usaha untuk menghilangkan kebudayaan asli, melainkan bersama-sama berusaha untuk saling menghargai.

Pengalaman interaksi dengan perbedaan tentu saja tidak terjadi di pesantren saja. Apalagi saat ini kita hidup dalam interaksi tanpa perbatasan (internet). Pesantren mungkin hanya miniatur dari sikap saling menghargai. Di luar itu, kemauan untuk saling menghargai dan toleransi harus selalu diberi ruang. Di sosial media tentu saja banyak ungkapan-ungkapan berbau rasis. saya sering sekali menghabiskan waktu untuk membaca comments di Instagram dan melihat bahwa banyak sekali orang yang belum memahami makna rasisme dalam bentuk yang paling sederhana sekali pun. Bilapun mengerti, mereka nampaknya merasa tidak terlalu peduli dengan rasisme ini. Tentu hal-hal seperti ini sangat disayangkan, karena bagaimanapun stereotip yang dipelihara terus menerus suatu waktu bisa saja melahirkan perilaku yang diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun