Mohon tunggu...
Imam Fauzi
Imam Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money

Pengembangan Ekonomi Islam dalam Desa: Penerapan sharia Value di Pasar Tradisional

6 Mei 2021   20:35 Diperbarui: 6 Mei 2021   22:09 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Hallo semuanya perkenalkan nama saya Imam Fauzi dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Manajemen, saya disini akan menjelaskan tentang, Pengembangan Ekonomi Islam dalam Desa: Penerapan sharia Value di Pasar Tradisional. Yang dibimbing oleh dosen saya yaitu Dr. Dra. Masiyah Kholmi, Ak. MM.CA mata kuliah ekonomi islam.

Nilai-nilai syariah Islam memiliki efek yang cukup besar pada setiap aspek budaya Muslim. Islam sangat komprehensif, baik kaitannya dengan ibadah maupun muamalah. Dalam bermuamalah nilai-nilai syariah ini memiliki pengaruh yang sangat penting (Cerimagic, 2010), bukan hanya untuk seorang muslim saja akan tetapi bagi pemeluk agama lainnya. Ketika melakukan transaksi bisnis, nilai-nilai syariah ini melebur menjadi sebuah sistem yang kemudian mewujudkan transaksi bisnis yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak, Para pegiat ekonomi Islam dewasa ini sangat gencar menyuarakan isu-isu ekonomi syariah, baik sebagai pengembangan keilmuan atau sebagai alternatif pemecahan masalah dalam bidang muamalah. Menurut mereka, studi ekonomi Islam harus terus dipelajari dan dikembangkan sehingga produk studi tersebut dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh manusia. Ekonomi Islam di Indonesia khususnya akan menemukan momennya jika semua elemen mendukung berkembangnya ekonomi Islam yang mengedepankan maslahah, tidak terkecuali dalam kegiatan bisnis pasar tradisional. Permendag No. 53 tahun 2008 mendefinisikan Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemda, Swasta, BUMN dan BUMD termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, los, kios, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar. Pasar tradisional merupakan penggerak perekonomian masyarakat desa, kehadiran pasar tradisional menjadi hal yang sangat dibutuhkan ditengahtengah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder. Kelebihan pasar tardisional disamping transaksi melalui proses tawar menawar adalah produk atau komoditas yang diperjualbelikan berasal dari masyarakat desa tersebut berasal, misalnya hasil pertanian, perkebunan dan kerajinan sehingga kehadiran pasar tradisional dapat meningkatkan perekonomian desa. 

Konsep Muamalah dalam Islam 

Muamalah adalah kegiatan yang dilakukan oleh satu pihak dengan pihak lain dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Dalam pengertian yang lain, muamalah memiliki arti peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hal tukar menukar harta (Ali, 2008: 118). Ruang lingkup dalam muamalah dibagi menjadi dua kelompok, pertama, berkaitan dengan apa bentuk transaksi. Hal ini menyangkut materi (madiyah) transaksi yang dilakukan, segala aspek kegiatan ekonomi manusia, seperti jual beli, gadai, rahn, hutang piutang dan lain sebagainya. Bentuk kedua, berkaitan dengan bagaimana transaksi itu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan etika (adabiyah) suatu transaksi seperti saling ridha dalam transaksi, kejujuran, penipuan, pemalsuan, penimbunan dan segala sesuatu yang bersumber dari Endang Sriani 4 BISNIS, Vol. 8, No. 1 Juni 2020 indera manusia yang memiliki kaitan dengan peredaran harta dalam kehidupan masyarakat. Islam merupakan agama yang komprehensif yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, mulai dari akidah, ibadah dan akhlak sampai bidang muamalah. Salah satu ajaran penting dan selalu berkembang adalah bidang muamalah. Terdapat berbagai ulama yang memberikan perhatian lebih terhadap kegiatan muamalah ini, bahkan di berbagai kitab-kitab karangan para ulama’, di setiap halaqah atau oengajian-pengajian mereka sering membicarakan berbagai hal tentang ekonomi. Seperti Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwal, Abu Yusuf dengan kitabnya al-Kharaj, Ibnu Taimiyah dengan kitabnya al-hisbah, dan masih banyak lagi ulama-ulama dengan berbagai kitabnya. Dalam hal muamalah, syariat Islam lebih banyak memberikan pola-pola, prinsip-prinsip, dan kaidah-kaidah umum dibandingkan memberikan jenis dan bentuk muamalah secara perinci. Sehingga bentuk kegiatan muamalah menjadi wilayah para ahli dibidangnya serta muncul dengan bentuk yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah yang lain, bahkan berubah bentuk dari satu waktu ke waktu, karena yang menjadi poin dalam muamalah adalah substansi makna yang terkandung dalam muamalah tersebut bukan bentuknya. Hal ini sesuai dengan kaidah umum dalam muamalah yang menyatakan bahwa segala jenis muamalah itu boleh dilaksanakan asalkan tidak bertentangan dengan syariah Islam. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengungkapkan kaidah berkaitan dengan perubahan sosial ini dengan mengatakan bahwa berubah dan berbedanya fatwa sesuai dengan perubahan tempat, zaman, kondisi sosial, niat dan adat kebiasaan (Mardani, 2012: 6). Berkaitan dengan pernyataan fundamental atau kebenaran umum yang dijadikan sebuah pedoman untuk berfikir dan bertindak, para ulama’ merumuskannya menjadi sebuah prinsip dasar muamalat (Basyir, 2000: 15- 16) yang terdiri dari; pertama, Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah.

 َى تَ ْحِرْي ِمَها ْن يَدُ َّل دَِلْي ٌل َعل َ أ االَّ َحةُ ِإلبَا ِة ا َملَ ْص ُل فِي ال ُمعَا األَ Artinya: “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Kaidah ini memberikan konsekuensi wilayah ijtihadi yang luas bagi muamalah. Manusia tidak dibatasi dengan jenis muamalah apa yang dikerjakan dan Islam memberikan kesempatan luas perkembangan bentuk muamalat baru sesuai kebutuhan hidup masyarakat. Kedua, Muamalat dilakukan atas dasar suka sama suka tanpa ada unsur paksaan. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Q.S. an-Nisa’: 29).

Ketiga, Muamalat dilaksanakan atas dasar mendatangkan manfaat dan menghindari madlarat dalam hidup masyarakat. Sebagaimana sabda Nabi SAW. yang artinya: “Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri ra., Rasûlullâh saw. bersabda, “tidak boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari hadits tersebut menjelaskan bahwa dalam bermuamalah tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang menimbulkan kerugian kepada diri sendiri maupun orang lain, tidak dibenarkan melakukan transaksi yang merusak kehidupan masyarakat. Keempat, Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsurunsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 279 yang artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”. (QS. al-Baqarah: 279) Dijelaskan dalam dalam surat al-Baqarah ayat 279, bahwa Allah akan memerangi umat yang melakukan transaksi riba. Oleh karena dalam riba terdapat unsur penindasan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Nilai-nilai syariah Islam dalam muamalah tertuang dalam rumusan norma dalam menjalankan usaha. Norma-norma tersebut bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah yang dirumuskan dalam empat sendi utama, yakni ketuhanan, etika, kemanusiaan dan sikap pertengahan (wasathiyah) (Qardhawi, 2001: 30). Bertitik tolak dari paham ketuhanan, maka dalam menjalankan usaha seseorang menjalankan sesuatu karena Allah dan untuk Allah. Dengan pemahaman ini, seseorang tidak akan berani untuk memakan uang haram, melakukan monopoli, maupun memakan harta sesama dengan cara bathil. Dengan konsep ketuhanan ini maka seseorang menyadari bahwa harta yang ia miliki hanyalah titipan semata dari Allah swt. Manusia sebagai individu maupun kelompok diberikan kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal seminimnya. Namun disisi lain, ia terikat dengan iman dan etika sehingga ia tidak bisa sebebasnya menginvestasikan harta atau menjalankan usahanya (Mardani, 2012: 47). Tujuan ekonomi Islam, yakni menciptakan kehidupan manusia yang aman dan sejahtera, manusia inilah yang kemudian menjadi objek atas seruan yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Manusialah yang memahami nash, menafsirkan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Dengan demikian, dalam ekonomi Islam manusia dan faktor kemanusiaan merupakan unsur utama, faktor kemanusiaan ini terkumpul dalam etika yang bersumber dari nash.

Konsep Pengembangan Ekonomi Desa 

Desa merupakan daerah produsen untuk bahan-bahan makanan, dari desa dihasilkan berbagai jenis kebutuhan pangan yang dibutuhkan bahkan sampai ke pusat kota. Akan tetapi, dengan potensi yang sangat besar ternyata desa belum mampu untuk mandiri secara ekonomi bahkan sebagian besar penduduk desa masih berada dibawah garis kemiskinan. Hal itu disebabkan hasil pertanian diangkut dan dimanfaatkan di perkotaan dan masyarakat desa hanya menjadi pangsa pasar dari olahan bahan-bahan yang mereka hasilkan tersebut tentu dengan harga yang lebih tinggi. Bantacatut (2013) menyatakan bahwa desa harus menjadi tumpuan penyedia bahan pangan olahan untuk masyarakat kota sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan dan kegiatan ekonominya. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi desa harus bertumpu pada nilai tambah. Dasar-dasar pembangunan ekonomi desa harus mampu menganalisa potensi yang dimiliki desa sehingga desa tidak bisa dengan sendirinya menjadi mandiri tanpa campur tangan pemangku kebijakan (pemerintah) dalam membuat keputusan. Menurut Darwanto (2002) terdapat dua prinsip dasar pengembangan ekonomi daerah yang perlu diperhatikan, yakni pertama, mengenali ekonomi daerah. Untuk menjamin berbagai tahapan percepatan pertumbuhan ekonomi desa berbasis komoditas dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan berbagai fasilitas pendukungnya baik berupa kebijakan maupun pembangunan kesadaran dan kemampuan masyarakat desa. berbagai kebijakan yang pro masyarakat desa diharapkan mampu memperlancar usaha yang akan dilakukan oleh masyarakat. dalam hal ini, kendala yang biasa dialami oleh masyarakat desa adalah akses modal untuk membangun sebuah usaha. Oleh karena itu, malalui kewenangannya, pemerintah harus mau dan mampu menerbitkan kebijakan kemudahan akses permodalan untuk masyarakat desa yang masih minim pengetahuan. Pembangunan kesadaran diharapkan mampu menumbuhkan pemikiran baru masyarakat desa terkait sumber, peran dan fungsi pangan pokok yang bisa saja berubah dari sekdar menjual hasil pertanian menuju olahan bahan pangan yang akan menambah nilai dari hasil komoditas. Pembangunan kemampuan masyarakat desa dalam hal ini perlu diperhatikan mengingat tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat desa yang terbatas. Perlu adanya akses informasi dan pelatihan serta pendampingan intensif yang harus diberikan kepada masyarakat tentang bagaimana membuat inovasi olahan dari hasil komoditas serta bagaimana memasarkan hasil olahan tersebut. 

Konsep Pasar Syariah az-Zaitun Sebagai Upaya Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Desa

Saat ini pemerintah memang telah menaruh perhatian terhadap pembangunan masyarakat desa melalui anggaran APBN berupa dana desa yang disahkan melalui Undang-undang Desa yang sekaligus menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi desa, akan tetapi pengalokasian dana desa saja belum dapat membangun kemandirian desa tanpa diikuti dengan persiapan sumber daya manusianya. Mengingat potensi desa yang besar namun memang jauh dari jangkauan pembangunan infrastuktur, maka diharapkan masyarakat desa memiliki kemampuan untuk membangun perekonomian mereka melalui sumber daya yang dimiliki. Pasar tradisional dikenal sebagai denyut nadi perekonomian masyarakat desa yang memang memiliki latar belakang profesi pertanian, perkebunan, nelayan. Dengan berjalannya transaksi ekonomi didalamnya yang dilakukan oleh produsen dari sektor ekonomi sebagai suplayer dari komoditas yang diperdagangkan oleh penjual dan sebagian masyarakat lainnya sebagai pembeli. Dari geliat ekonomi pasar tradisional secara tidak langsung mencerminkan bagaimana perkembangan berbagai sektor masyarakat desa. Melihat potensi pasar dalam pengembangan ekonomi desa, maka ke depan seharusnya produk yang diperdagangkan bukan lagi produk yang berasal dari luar daerah atau produk yang tidak mencerminkan potensi daerah bersangkutan. Ketahanan ekonomi desa harus dibangun atas dasar nilai tambah yang bersumber dari hasil pertanian dan perdagangan yang menjadi profesi sebagian besar penduduknya. Dewasa ini, pertumbuhan penduduk dan pembangunan perkotaan dengan konsep ekonomi modern telah menggeser kesempatan pedesaan untuk menambah nilai dasar dan primer.  

Dalam mengelola ekonomi desa, masyarakat desa memiliki modal sosial yang dapat dikembangkan seperti gotong royong, kepercayaan dan rasa kebersamaan serta kemampuan jalinan kerja sama yang lebih kuat dibandingkan masyarakat perkotaan, ditambah dengan Potensi sumber daya alam, baik dari pertanian, industri kecil, jasa dan lainnya dapat berkembang dan dikembangkan dengan berbasis pada potensi yang dimilikinya dan pasar tradisional dapat menjadi etalase identitas pengembangan desa bersangkutan (Bappeda denpasar.go.id). Membangun kembali citra pasar tradisional sebagai pusat kegiatan ekonomi perlu mendapatkan perhatian dari seluruh kalangan. Menumbuhkan cinta pergi ke pasar tradisional juga harus menjadi agenda bersama demi memelihara nilai kebersamaan masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memasukkan nilai-nilai syariah Islam dalam aktivitas pasar, seperti yang diterapkan oleh pasar syariah az-Zaitun. Melihat peluang besarnya pangsa pasar di Surabaya yang memiliki penduduk muslim terbesar dibandingkan agama lainnya, tentu menjadi salah satu alasan yang cukup kuat untuk membangun geliat ekonomi Islam diberbagai aspek termasuk pasar tradisional. Tanggung jawab pengelola pasar syariah az-Zaitun kedepan haruslah melakukan singkronisasi dan sinergitas kepada para penduduk lokal baik bidang pertanian, nelayan, wirausaha, pedagang UKM dan lembaga keuangan lainnya sebagai penyedia pembiayaan untuk membangun kekuatan ekonomi desa berbasis kekuatan lokal. Dengan demikian, pasar syariah az-Zaitun bukan hanya sebagai pengembangan ekonomi Islam tetapi juga sebagai ciri khas daerah tersebut yang memperdagangkan produk spesifik desa yang berasal dari potensi desa dan akhirnya dapat menjadi kekuatan ekonomi desa yang terpusat pada pasar tradisional. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan juga ditemukan bahwa para pedagang telah mengetahui dan menerapkan 8 prinsip syariah yang telah dirumuskan oleh para pendiri, namun aktivitas pasar az-Zaitun tersebut terganggu dengan adanya aktivitas pasar ilegal di sekitar pasar yang mengakibatkan sekitar pasar menjadi kumuh dan pembeli lebih banyak yang di pasar ilegal karena berada diluar (pinggir jalan) yang tidak perlu parkir terlebih dahulu untuk belanja, namun tidak sedikit pula yang tetap memilih belanja di dalam pasar karena merasa nyaman, kenyamanan tersebut karena kepastian kehalalan dan kejujuran dari para pedagang. Meskipun kedelapan aturan yang telah dirumuskan pendiri belum seratus persen dilaksanakan oleh pelaku usaha dalam pasar, namun setidaknya upaya tersebut telah membuka peluang untuk mengembalikan kekuatan ekonomi desa.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun