Mohon tunggu...
Pena_Kampus
Pena_Kampus Mohon Tunggu... Penulis - CatatanPerantau

Pena_Kampus

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Darrow

27 Agustus 2019   22:09 Diperbarui: 27 Agustus 2019   22:17 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kehidupan adalah guyon yang mengerikan"

Aku ialah ke putus-asaan yang tak berkesudahan. Dan dia ialah pencipta lirik bermakna yang
membingungkan. Didalam alam terrestrial aku mensyair-kan tentang nyanyian dari sebuah lirik
yang dia ciptakan, menyebabkan tubuh kaku ini menari-nari kacau tak searah dan tak se irama
dengan nada.
Pada sore hari ketika matahari mulai meredakan sinar nya. Dimana adalah waktu yang
paling tepat untukku menjalankan misi besar ku. Dengan bertanya-tanya, tentang apa yang
sebenarnya terjadi dalam kehidupan ini dan untuk apa ini semua?, ku mempertanyakan sebuah
pertanyaan itu kepada siapa saja yang sedang menikmati suasana nyaman yang telah disajikan
oleh taman kota. Ketika ku bertanya seringkali aku mengalami kejenuhan. Sebab, kebanyakan
orang yang ku tanya seakan diam menutup mulut, entah mereka tidak tahu untuk menjawab
atau memang mereka sedang belajar menjadi orang bisu.
Disela-sela lenyap nya cahaya kudapati seseorang berwajah keriput dimakan usia,
berkaca mata kusam yang menempel didepan sepasang bola matanya. Duduk diam dengan
memegang tongkat di tangan kirinya dan sebatang cerutu di tangan kanannya. Dan aku
memulai bertanya kepada beliau tentang apa yang dia ketahui tentang kehidupan ini. Dia
menjawab dengan menyampaikan pernyataan dengan nada yang lembut dan tempo yang se
singkat-singkatnya. Dan dia langsung pergi setelah menjawab. Seperti ini bunyi kalimat yang
keluar dari bibirnya, serta diiringi asap yang membalut pernyataannya bahwa "hidup ini itu soal
usaha dalam 'Melahap' secara maksimal sesuatu. Namun, semua itu semu. Dan 'Memuntahkan'
sesuatu lainnya. Namun, telah mengenang dalam jiwa".
Ketika pernyataan itu menyelinap ke ruang hampa dan mengisi penuh dahaga ku. Akal
bekerja dengan perlahan-lahan mencerna nya. Tentang pernyataan sedemikian rupa, hadir
bukan bagai pelangi yang tiba setelah hujan reda. Akan tetapi nampak bagai hujan yang
semakin deras, dibumbui angin kencang serta diiringi kilat petir. Sebab bukan menyelesaikan
jawaban atas pertanyaan. Namun, memunculkan pertanyaan baru tiada henti. Usaha apa dalam
hidup dengan melahap sesuatu yang padahal sesuatu itu semu ? ataukah yang dimaksudnya itu
kebahagian ? kenapa dia semu ? ,dan memuntahkan sesuatu lainnya padahal sesuatu itu telah
mengenang dalam jiwa ? ataukah yang dimaksud ini kesengsaraan ?.
Entah, diriku menjadi resah. Seringkali aliran darah ku mendesir cepat, nafsuku
memuncak, ketika mengingatnya. Dan timbul hasrat ku ingin menuntaskan apa maksud dari
sebuah pernyataan itu, yang telah ku dapati dari orang yang baru kujumpai. Ingin ku mengulangi
menemui nya kembali, untuk mempertanyakan atas pernyataan yang seakan telah melahirkan
tentang sebuah pertanyaan-pertanyaan baru yang tertanam semalaman dalam benak pikiran ku
dan meminta untuk mempertanggungjawabkan atas apa yang sempat dia sampaikan terhadap
[27/8 23.15] fs: ku. Karena itu seperti halnya hutang dia kepadaku, Dan aku akan terus menagih nya.
Aku mencarinya keesokan harinya di tempat ketika aku berjumpa dengan dia waktu itu.
Ku menemukannya kembali, ditempat yang sama. Langsung ku sapa dia dengan pertanyaan
tanpa henti. Seperti polisi yang menginterogasi pelaku penjahat. Namun, dia diam tanpa melirik
wajah ku, serta tak menjawab pertanyaan ku, dan yang lebih kejam nya, lalu dia pergi
meninggalkanku tanpa sepatah kata apapun. Aku kecewa sekaligus khawatir, apakah aku
terlihat amat ambisius hingga dia enggan menoleh dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ku.
Bisa jadi, ini konsekuensi atas tindakanku yang tanpa ada etika dan aku harus dapat
menerimanya atas perlakuan dia kepadaku . Hari ini aku pulang dengan tanpa membawa hasil
apa-apa . Yakin besok ku akan datang kembali, untuk menggenggam jawaban yang bermakna.
Sore senja dihiasi aurora indah di langit-langit semesta, ku mencarinya di bangku
sediakala. tidak kutemukan disana. Namun ku tak berputus asa, menelusuri sekeliling taman
kota. Dari ujung timur hingga ke ujung barat, tetap tidak ku menjumpainya. Ketika aku berhenti
untuk beristirahat, ku melihat ada seseorang berjalan dari arah kejauhan. Terlihat amat samar,
ku lama menatapnya terlihat seakan mendekati ku, semakin dekat. Terlihat amat jelas. Dan
ternyata seseorang itu adalah dia yang ku cari, menghampiri dengan suara ketukan tongkat
berirama. Dia duduk sekarang berada tepat di samping ku. Dia mengambil sesuatu di saku
bajunya, mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi batangan cerutu, dan Lalu dia membakarnya.
Ingin ku bertanya kepadanya. Namun, dia mengucapkan penggalan kata demi kata dari bibirnya.
Tutur beliau seperti ini "kebahagian itu bersifat dasar semu dan palsu. Terlalu banyak
orang yang mengejarnya, hanya sedikit orang yang mendapatkannya. Sedikit yang
mendapatkannya itu, bukan mendapatkan secara utuh kebahagiaan. Namun, bisa dikatakan
sedikit merasakannya hanya sementara, sisanya itu lebih banyak orang justru menerima
kesengsaraan. Asal mula sedikit orang itu hasil daripada "memeras" hak milik orang banyak.
Dan menjadikan iming-iming bagi orang banyak untuk merasakan kebahagian tetapi
kenyataannya tak akan dapat terwujud. Secara tidak langsung tragedi seperti itu menumbuhkan
sebuah rasa dengki yang tak terkendali dan berakhir pada perpecahan dan peperangan antara
manusia. Itulah yang terjadi, kehidupan ini seperti lingkaran setan. Dalam hidup kesengsaraan
itu menjadi dasar kehidupan yang hakiki. Dan sedangkan kebahagian yang dikejar-kejar tidak
mengandung kesejatian. Segala yang lalu telah tiada, segala yang akan datang belum dilalui,
dan segala yang ada sekarang tidak memadai".
Jika memang tujuan hidup ini kebahagian, yang amat tinggi letak keberadaannya. Atas
ketinggiannya itulah yang membuat manusia tak mampu menjangkau nya. Dan realitanya
manusia akan terjerembab dalam lembah-lembah kesengsaraan, serta tidak dapat untuk
menghindarinya. Bukankah ada solusi untuk menyelesaikannya persoalan itu? Tutur ku padanya.
Ada satu alternatif katanya. "Jika memang manusia tidak dapat menemukan jalan untuk
melewati atau menghindari lembah-lembah kehidupan. Maka hanya ada jalan terbaik untuk
mengakhirinya, yaitu dengan kematian. Sebab kematian menjadi puncak akhir dari
kesengsaraan yang di alami manusia dalam hidup".
[27/8 23.16] fs: Semenjak dia menjelaskan kalimat tersebut, membuat ku tertegun dan berdiam cukup
lama, dia berdiri. Aku mencegahnya, dengan mengulurkan tangan untuk berkenalan. Setelah
saling mengenal, lalu dia meninggalkanku. Sungguh amat mengerikan kehidupan ini, lebih baik
jika aku boleh meminta untuk tidak dilahirkan di dunia atau berada dalam ketiadaan. Sebab
keberadaan di dunia terjadi hanya sia-sia. Memimpikan tujuan yang tak bermakna dan berakhir
pada sia-sia. Ku tetap diam kembali duduk menatap cahaya langit yang lenyap berganti menjadi
gelap.
Aku ter lantung dalam sebuah ke putus-asaan. Jiwa dan tubuhku seakan tercabik-cabik
oleh jawaban yang menyedihkan, bagai nakhoda kehilangan arah dan terombang-ambing
dihantam badai di tengah lautan. Dalam sebuah kesunyian, manakala dunia membisikkan
telingaku untuk segera menunaikan "sangkan paran" kehidupan ini. Kesimpulan ku pun telah
bulat, untuk apa ku bertahan dalam kehidupan yang berisi ketidakadilan, penindasan dan
kesengsaraan yang membuatku menderita sekaligus muak .
Akan ku telan racun tikus untuk menuntaskan nya. Agar lebih menikmatinya akan ku
teguk racun itu dengan memadukan nya sama kopi panas ? ah tidak, itu sangat menyiksa
tubuhku nantinya. Ataukah menenggelamkan tubuhku di laut, dan ketika aku mati tubuhku pun
berguna untuk makanan ikan kecil nantinya? Ah, tidak akan tenggelam, karena aku bisa
berenang. Dan ku ingat Mungkin tali jamuran belakang rumah, dapat sekaligus berguna untuk
menggantung tubuhku. Bukan hanya menggantung pakaian dan celanaku saja. Lagi pula lebih
menikmati bunuh diri dengan gantung diri, dari pada meminum racun yang menyiksa.

#kompasianer_Abe

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun