Mohon tunggu...
Ima FitriBudi
Ima FitriBudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Sebelas Maret

Mahasiswa Sosiologi UNS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketergantungan Indonesia Terhadap Bantuan Luar Negeri Dalam Pembangunan Proyek MRT

6 Desember 2022   12:08 Diperbarui: 6 Desember 2022   12:16 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

MRT merupakan transportasi massal yang sangat berpengaruh bagi kota Jakarta, mengingat tingkat populasi kota metropolitan ini meningkat dari 17 juta pada tahun 1990 menjadi 42 juta pada tahun 2005 dan disertai dengan peningkatan volume lintas (Ranti, 2018). Pembangunan infrastruktur sangat penting khususnya bagi negara-negara bekembang. Fenomena tersebut menimbulkan adanya saling ketergantungan antarnegara dalam upaya mencapai tujuan pembangunan. Hubungan interdependensi saat ini pun cenderung meningkat, khususnya yang berkaitan dengan bidang pembangunan (Wirawansyah, 2022). 

Dana yang diperlukan untuk pembangunan MRT dengan menggunakan jalur rel eksiting yang sudah ada sebelumnya adalah mencapai 50 triliun, Suhendra (2017, cit. Ramadhani, 2022).

Untuk merealisasikan hal tersebut, beberapa negara memerlukan bantuan dalam upaya mewujudkan pembangunan nasionalnya (Firmansyah et al, 2022). Kepentingan yang terjalin antar negara satu dengan negara lainnya supaya dapat mencapai national interest tersebut yakni mengenai Bantuan Luar Negeri (BLN). Hal tersebut biasanya dilakukan oleh negara maju terhadap negara berkembang, seperti contohnya yang dilakukan oleh Jepang di Kawasan Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Dalam konteks perekonomian Indonesia di negara berkembang, belum mendukung pembangunan negara yang baik, sehingga memerlukan kontribusi dari entitas asing. Kontribusi dari pihak asing tersebut biasanya berupa kegiatan investasi dan bantuan yang diberikan guna mendukung program pembangunan nasional.

Oleh karena itu Indonesia mulai merealisasikan pembangunan MRT dengan menggunakan bantuan negara lain yaitu Jepang. Jepang sendiri adalah negara kaya dan maju di kawasan Asia, yang dimana memiliki Program yang disebut Bantuan Pembangunan Resmi (ODA) yang tersedia untuk negara-negara berkembang. ODA Jepang yakni sebuah peminjaman dana dengan tenggat waktu selama sepuluh tahun, dalam jangka waktu tiga puluh tahun dan tingkat bunga 0,25%, yang jelas sangat menarik bagi negara berkembang dan dunia ketiga. Hal ini akhirnya dimanfaatkan oleh indonesia melalui terealisasinya pembangunan MRT yang dalam hal ini merupakan bantuan dari Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA).

Dana pinjaman JICA yang telah diterima Pemerintah Pusat diterushibahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Menurut Permenko No. 1 Tahun 2018, tertuang dalam Pasal 1, Jepang memberikan pinjaman sebesar JPY 125.237.000.000 (seratus dua puluh lima milyar dua ratus tiga puluh tujuh juta yen Jepang). Kemudian mengalami penambahan jumlah pinjaman sebesar USD 191.000.000 (seratus sembilan puluh satu juta dollar Amerika Serikat). Selanjutnya pada tahap 2 besar pinjaman yang diberikan JICA sebesar USD 1.678.000.000 (satu miliar enam ratus tujuh puluh delapan juta dolar Amerika Serikat). Berdasarkan jumlah nominal tersebut menunjukkan bagaimana ketergantungan Indonesia terhadap bantuan luar negeri khususnya negara Jepang dalam konteks pembangunan infrastruktur proyek MRT. 

Setiap tindakan pasti mengandung berbagai konsekuensi, begitu juga halnya dengan tindakan pemerintah dalam menarik pinjaman luar negeri. Dalam jangka pendek, pinjaman luar negeri dapat menutup defisit APBN, daripada defisit APBN tersebut ditutup dengan pencetakan uang baru, sehingga peminjaman ini memungkinkan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dengan dukungan modal yang lebih besar, tanpa disertai efek inflasi yang tinggi. Dalam jangka panjang, pinjaman luar negeri dapat menimbulkan permasalahan ekonomi pada negara debitur (Ranti, 2018). Dalam jangka panjang akumulasi dari pinjaman luar negeri pemerintah ini tetap saja harus dibayar melalui APBN, artinya menjadi tanggung jawab para wajib pajak. Dengan demikian, maka pemerintah Indonesia sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia masa mendatang (Firmansyah dkk, 2022). Penggunaan pinjaman luar negeri yang tidak dilakukan dengan bijaksana dan tanpa prinsip kehati-hatian, dalam jangka panjang akan menjerumuskan negara debitur ke dalam krisis utang luar negeri yang berkepanjangan, yang sangat membebani masyarakat karena adanya akumulasi pinjaman luar negeri yang sangat besar. 

Pembangunan proyek MRT akan menimbulkan ketergantungan terhadap luar negeri apabila Indonesia terus mencari utang untuk pembangunan MRT pada sesi-sesi selanjutnya. Apabila utang luar negeri harus ditempuh dengan menekan konsumsi dan investasi. Maka permintaan agregat/masyarakat akan menurun selanjutnya akan menghambat dan mengurangi tingkat pendapatan nasional (Prasodjo & Rijal, 2021). 

Pemerintah akan terkena beban langsung dari utang luar negeri. Selama jangka waktu tertentu, beban utang langsung dapat diukur dengan jumlah pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap kreditur. Adanya beban riil langsung yang diderita pemerintah berupa kerugian dalam bentuk kesejahteraan ekonomi (guna/utility) yang hilang karena adanya pembiayaan cicilan utang dan bunga. Utang luar negeri dapat memberatkan posisi APBN RI, karena utang luar negeri tersebut harus dibayarkan beserta dengan bunganya. Negara akan dicap sebagai negara miskin dan tukang utang, karena tidak mampu untuk mengatasi perekonomian negara sendiri, (hingga membutuhkan campur tangan dari pihak lain).

Ketergantungan dalam pembangunan proyek MRT ini sesuai dengan teori ketergantungan oleh Paul Baran. Paul Baran menyatakan bahwa sentuhan negara kapitalis maju kepada negara pra-kapitalis yang terbelakang akan mengakibatkan negara-negara pra-kapitalis tersebut terhambat kemajuannya dan hidup dalam keterbelakangan (Kartono,2016). Menurut Baran, negara berkambang mendapatkan sentuhan dari negara maju (kapitalis), yang terjadi bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran. Selanjutnya, Baran berpendapat bahwa negara yang pada dasarnya feodal dengan sendirinya akan maju menjadi negara maju tanpa disentuh oleh kapitalis internasional, sebagaimana yang terjadi di Jepang (Jamaludin,2016).

 Jika dikaitkan dengan Teori Ketergantungan oleh Baran, saat ini Indonesia sudah terjebak dalam ketergantungan dengan negara lain. Dalam hal ini Indonesia sebagai negara pra-kapitalis terkena dampak dalam terhambatnya kemajuan karena terikat ketergantungan terhadap negara kapitalis, yaitu Jepang. Dalam pembangunan proyek MRT, Indonesia bergantung pada Jepang dalam bentuk investasi pada sesi satu dan dua, serta membuka tawaran kerjasama pada pembangunan sesi ketiga. 

Namun, jika dipandang dari sudut pandang berbeda, pinjaman luar negeri dalam proyek pembangunan MRT ini juga berperan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal tersebut sejalan dengan Teori Pertumbuhan oleh R.F Harrod dan Evsey Domar. Teori Harrod-Domar menganalisis kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkan oleh  negara agar dapat berkembang, salah satunya melalui investasi. Investasi memiliki hubungan positif dengan pendapatan negara. Investasi dalam suatu negara dapat diwujudkan dengan suatu bentuk yaitu pembangunan infrastruktur (Habiby,2020). Dalam hal ini dengan adanya pembangunan infrastruktur maka tentu sektor ekonomi akan berkembang. Dengan semakin baiknya infrastruktur yang kita miliki tentu mobilitas masyarakat akan semakin lancar. Meningkatnya mobilitas penduduk ini akan berpengaruh pada peningkatan pendapatan perkapita masyarakat. Hal tersebut akan berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat suatu negara (Rizky et al, 2016)

Sehingga ketergantungan Indonesia terhadap bantuan dari luar negeri tidak dapat dihindari karena untuk membuat suatu negara berkembang menjadi negara maju salah satu sektor yang harus ditingkatkan adalah pembangunan infrastruktur. Dalam hal ini indonesia akan mengalami kesulitan apabila tidak mendapatkan bantuan dari luar negeri dikarenakan SDM dan dana yang dimiliki oleh suatu negara berkembang juga terbatas. Apabila pembangunan infrastruktur tidak berjalan Indonesia akan menjadi negara yang tertinggal dibandingkan negara lain. Karena pada dasarnya pembangunan suatu negara maju bukan hanya soal pembangunan infrastruktur, tetapi juga soal pembangunan manusianya.

Melihat hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak dapat terlepas dari bantuan dari negara lain. Sehingga solusi yang dapat ditawarkan adalah lebih memperhitungkan dan meminimalisir penumpukan utang sehingga tidak berdampak besar dalam kesejahteraan masyarakat Indonesia kedepannya. Suatu hal yang tepat, bila utang luar negeri dapat membantu pembiayaan pembangunan ekonomi di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Namun negara yang tidak memperhitungkan beban hutang negara dengan kemampuan negara itu sendiri akan membuat negara tersebut mengalami suatu kemunduran bahkan dapat lebih buruk dari keadaan negara tersebut sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun