Mohon tunggu...
ima rahmani
ima rahmani Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga dengan dua anak. Untuk sementara meninggalkan pekerjaan guna menemani suami belajar di Perancis. Kembali pada jalur utama mengurus anak dan suami sambil sesekali jalan jalan cuci mata mencari hal hal yang baru. Hobi memasak, tanpa resep tentunya hehehe... yang penting enak. Saat ini sedang mencoba menyenangi jalan jalan, karena selama ini lebih senang tinggal di dalam rumah sambil menikmati musik, buku buku, kasur empuk, sambil bercanda dengan kedua anak saya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengapa Kamu Berjilbab...??

16 Juni 2012   17:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua tahun sudah saya tinggal di Paris. Suka duka tinggal di negara yang terkenal dengan minyak wanginya ini tentu sudah saya dapatkan. Namun pengalaman saya sebagai muslimah berjilbab di Paris tentu yang paling membekas dalam pikiran. Kali ini bukan tentang pengalaman  berinteraksi dengan orang lain, tapi pengalamanku mendapatkan pertanyaan yang sama setiap kali berkenalan dengan kawan baru yang berasal dari agama atau latar belakang negara yang berbeda. Mengapa harus pakai Jilbab ?

_________________________________________

Setelah mengantri dan membayar makanan saya memilih tempat duduk tepat di depan seorang kawan dari Cina, sebut saja Xi. “Berapa kamu harus bayar?”, dia bertanya penasaran. ” Ya, seperti yang kamu bilang, aku bayar 3 eouro”, aku menjawab sambil ku pamerkan tiga jariku di depan matanya. Tiba tiba Miung, seorang kawan dari Korea menyela, “Waaaah, kok bisa… aku harus membayar 4,5 euro… lebih mahal”. Sambil menggeleng gelengkan kepala dan mulut menganga serta ekspresi tidak percaya khas orang Korea Miung menepuk nepuk pundak saya. “Kamu memang beruntung…padahal menu yang kita makan sama”. “Tidak, kamu mengambil satu telur dan satu mangkuk salad lebih banyak dari punyaku…”, saya membela diri. “Waaaaaa, oui oui… kamu benar sekali… penyebabnya telur ini… oh la la la…”, begitu dia merespon sambil diikuti senyum tipisnya yang membuat matanya yang sipit semakin tak nampak saja.

Kali pertama bagi saya menikmati hidangan makan siang di Cite Universite. Kantin besar yang khusus disediakan untuk mahasiswa ini menyajikan menu murah meriah. Tapi ternyata yang makan di sini tak hanya pelajar. Saya juga melihat ada pengunjung umum yang turut mengantri di belakang kami. Hanya 3 euro untuk tiga menu , yaitu pembuka, menu utama dan penutup. Walaupun demikian ada aturannya. Satu jenis pilihan menu memiliki satu poin. Dan 3 euro hanya berlaku untuk 4 poin makanan saja, satu poin untu pembuka, dua poin untuk menu utama dan satu poin untuk menu penutup. Jika lebih dari itu maka akan dekenakan poin tambahan alias harus bayar lebih besar.

Siang itu kantin cukup ramai pengunjung. Kesimpulan ku tentang besarnya peminat pelajar dari kawasan indocina ternyata menemukan faktanya di kantin ini. Ya, tak sulit menemukan orang Cina, Korea dan Jepang di Perancis. Cina dan Jepang, bagi ku sudah biasa. Karena mereka memang ada di mana mana. Tapi para pelajar Korea bagi ku adalah hal yang baru. Saking banyaknya keberadaan mereka di Paris, saat ini mudah bagiku membedakan mana orang Cina, orang Korea dan orang Jepang. Termasuk peserta kursus bahasa Perancis di dalam kelasku yang rata rata di dominasi oleh pelajar dari Korea.

Sambil menyantap makan siang kami saling berbagi cerita. Saya dikejutkan dengan pertanyaan Xi tentang jilbab yang aku kenakan. Maklum, di sini orang jarang sekali bertanya tentang hal hal yang sifatnya berbau prinsipal. Terlebih tentang cara berpakaian atau tentang keyakinan. Mungkin Xi sudah terlalu lama memedam tanya tanpa ada kesempatan untuk mendapatkan jawaban. “Ima, mengapa kamu pakai ini…?”, katanya sambil menunjuk pada jilbabku. Memang sih, saya satu satunya pelajar di kelas yang mengenakan jilbab. Itu juga yang menjadikan aku tampak berbeda dibanding yang lainnya. “Saya pernah membaca berita bahwa “ini” harus dipakai oleh wanita Islam, bahkan aku juga seringkali mendengar berita tentang perempuan yang memakai… apa itu… sesuatu yang menutup muka mereka… yang katanya biasanya dipakai untuk melakukan bom bunuh diri…. sesuatu yang berhubungan dengan terorisme”.

“Waaaaaa, ya ya ya… betul betul… saya juga pernah dengar itu Ima, dan apakah kamu tidak gerah dengan menggunakan “ini” apalagi hari panas seperti ini…”, Miung ikut nimbrung sambil sesekali mengangguk angguk kepala.

Bagi saya ini adalah pertanyaan standar. Walaupun pada awalnya saya menganggap pertanyaan seperti ini sebagai pertanyaan yang harus aku jawab dengan serius. Namun lama kelamaan saya mulai memahami cara berfikir mereka yang pada prinsipnya bukan tidak suka, tapi selalu berfikir dengan menggunakan norma umum : KENYAMANAN dan KEAMANAN.

“Ya, di dalam ajaran agama kami Tuhan memang mewajibkan wanita untuk tidak memperlihatkan bagian bagian tubuhnya, termasuk rambut. Tujuannya untuk keamanan wanita itu sendiri”, begitu saya menjawab dengan diplomatis.

“Hm, tapi jika rambut kamu ditutup terus menerus nanti akan rontok, itu tidak baik untuk kesehatan rambut”, Xi mencoba mencari tahu. “Ya, benar… tapi kita mengenakan ini hanya di luar rumah. Ketika di dalam rumah, saya membiarkan rambut saya terbuka. Sama seperti kalian”.“Lalu bagaimana dengan perempuan yang menutup mukanya?”, Xi mengingatkan. “Ya, bagaimana mungkin mereka bisa berkomunikasi dengan orang lain jika mukanya ditutup seperti itu. Dan mengapa kamu tidak menggunakannya…?”, Miung ikut nimbrung sambil menikmati ice creamnya.

Dengan keterbatasan bahasa yang saya miliki terasa sangat sulit menjelaskan semuanya secara panjang lebar. Tapi pada intinya saya mencoba untuk menjelaskan bahwa setiap orang menutupi tubuh mereka dengan cara yang berbeda beda. Tergantung latar belakang budaya dan keberadaan mereka.  Ada yang memilih berpakaian seperti saya, ada juga yang berpakain dengan cara yang lainnya. Dan mengenai teroris, itu sudah masuk masalah politik. Sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan cara berpakaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun