Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mogok Sekolah karena Tidak Dibelikan BB

25 Februari 2012   09:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:35 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barusan saja beberapa hari yang lalu, tetangga kami curhat mengenai anaknya melalui sms. Waduh, miris banget dengernya. Anaknya, seorang cowok, duduk di bangku SMP mogok sekolah. Gara garanya ya itu, minta dibeliin Blackberry. Sang Ibu, yang seorang janda, dan kerja di sebuah kantor swasta dengan gaji ngepas,  tentu saja tidak mampu.

Manalagi, sebelumnya anak tersebut sudah minta dibelikan motor. Untuk ini, sang ibu tersebut bela belain kredit dengan napas ngos ngosan. Eh gak taunya anak tersebut minta dibelikan BB juga. Padahal, adiknya masih ada 2 orang yang juga masih sekolah.

Ibunya memang kalang kabut. Menasehatin anaknya agar mengerti. Tetapi ya itu, kayaknya BB itu sudah harga mati. Kalau tidak dia gak mau sekolah. Kayaknya kalau gak gitu dia merasa gak ada artinya kali.

Kalau dilihat, lingkungan sekolah memang sangat mempengaruhi keinginan kuat anak untuk gaya gayaan. Kebetulan anak tersebut di sekolah swasta, yang mungkin anak anaknya pada hobi pamer. Dan bagi anak yang lagi pubersitas seperti dia, gejolak untuk menunjukkan eksistensinya melalui barang yang lagi nge-trend emang menggelegak.

Aku jadi inget adik iparku. Dulu dia sekolah di SD Negeri kampung Cikoko, Pengadegan karena situasi ekonomi yang mendesak di keluarga. Sekolah yang murah meriah bener. Di SD ini, dia hepi banget. Anak anaknya pada cuek dengan kebendaan kayak gitu. Jiwanya lebih bebas. Mau ngapa ngapain juga lepas. Terus, karena nilainya bagus, dia bisa masuk SMP Negeri paling baik se-DKI. Yang tentu, kelas sosial orang orang kayanya juga banyak.

Tetapi, alhamdulillah, dia gak kepengaruh ma pergaulan yang suka pamer kek gini. Temennya pada bawa mobil, pake ponsel. Tetapi tuh anak ya gak pernah minta dibeliin ponsel. Ke sekolah juga ngangkot. Cuma, dia emang punya sesuatu juga yang bisa menunjukkan eksistensi dirinya. Ya itu, dia jago main gitar, dan belajarnya secara otodidak.  Di sekolah ini dia bikin band. Dan sampe kuliah di ekonomi UI, dia juga bikin band.

Dan seiring dengan kemampuan ekonomi kakak kakaknya (bapaknya sudah lama wafat sejak dia SD kelas 3), adik iparku ini ya dihadiahin ponsel bagus juga ketika dia kuliah. Atas inisiatif kakak kakaknya, ponsel yang bagus untuk musik dan sebagai alat komunikasi, secara dia juga suka travelling.

Memang, setiap anak, apalagi yang sedang pubertas, perlu menunjukkan siapa dirinya. Tetapi apakah diajarin dengan menunjukkan dirinya dengan kebendaan, atau sesuatu didalam dirinya? Kebaikan, kepinteran, kesolihan, keahlian (apa aja, termasuk yang remeh temeh, kayak maen karet, maen kartu, sepak bola, catur, tenis meja, dstnya), mungkin lebih bisa disebut eksistensi yang hakiki daripada sekedar kebendaaan.

Memang, kalau kebutuhan komunikasi yang mendesak dan orangtuanya mampu, ya silahkan saja di pertimbangkan. Tetapi sungguh kasian kalau itu yang jadi keutamaan untuk menunjukkan eksistensi sang anak. Namanya ponsel itu alat bantu, ya tetap saja alat bantu yang mempermudah komunikasi manusia.

Ya sudah, Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun