Mohon tunggu...
Ilmina Jihan Zafira
Ilmina Jihan Zafira Mohon Tunggu... Mahasiswa - let's be happier

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Masih Ditemani Pandemi, Tetap Sambut Idulfitri dengan Rasa Syukur dan Lapang Hati

11 Mei 2021   15:18 Diperbarui: 11 Mei 2021   15:40 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: freepik.com/odua

Hari kemenangan tahun ini sepertinya tidak akan jauh berbeda dengan tahun lalu, bertegur sapa dan menanyakan kabar sanak saudara via vidcall dan terpaksa memaklumi keadaan yang lambat laun rupanya tak kunjung membaik. 

Mungkin masih hangat di benak kita, memori-memori masa lalu yang berputar layaknya pita film yang menayangkan rangkaian sebuah kisah. Idulfitri yang membawa suasana tersendiri dan terpatri dalam hati setiap orang, menyuguhkan kesan berbeda dengan hari-hari biasa ketika kita disibukkan dengan persiapan mudik, kue-kue lebaran, parsel-parsel yang dihias sedemikian rupa, baju baru, dan tentu saja, perasaan menggebu-gebu ketika akhirnya bisa bersitatap dengan saudara yang dalam satu tahun mungkin hanya satu-dua kali dapat kita jumpai atau bertemu langsung dan melepas kerinduan. Atau mungkin jauh sebelum itu, dalam artian sudah bersiap untuk pulang kampung satu-dua minggu sebelum hari raya Idulfitri. 

Jika begitu, tentu bulan Ramadan akan terasa lebih berwarna dengan kehadiran sanak saudara atau keluarga besar di sisi kita. Buka bersama, berangkat shalat tarawih bersama, dan bertukar cerita selepasnya. 

Moment-moment seperti itu tampaknya begitu dirindukan pada Ramadan tahun ini dan tahun sebelumnya, mengingat adanya wabah pandemi yang bahkan tidak satu pun dari kita menduga apalagi menginginkannya---dan memaksa kita untuk menerima keadaan apa adanya, tetap ikhlas dan mengambil hikmah serta menyambut Ramadan hingga Idulfitri dengan penuh sukacita serta hati yang bahagia meskipun tidak bisa mudik dan berjumpa langsung dengan keluarga besar.

Membahas larangan mudik yang membuat kita tidak dapat merealisasikan perayaan Idulfitri bersama keluarga besar, tentu hal tersebut sebenarnya bertujuan untuk kebaikan bersama. Aktivitas mudik akan meningkatkan potensi terjadinya kerumunan atau kontak fisik dengan banyak orang sehingga keputusan pemerintah ini dirasa memang perlu dilakukan dengan tujuan  untuk memutus rantai penyebaran virus COVID-19. 

Adanya pandemi yang hingga kini masih saja menjadi masalah yang belum tuntas terselesaikan juga berdampak pada aktivitas ketika bulan Ramadan sebagaimana yang kita lalui saat ini, contohnya seperti pembatasan kegiatan di pasar sore yang menjajakan kudapan buka puasa, pemberlakuan protokol kesehatan di area masjid (bahkan ada masjid yang terpaksa ditutup), dan sebagainya.

Walaupun demikian, adanya wabah yang "menghantui" ini tidak lantas menyurutkan semangat dan rasa bahagia kita dalam menyambut bulan suci Ramadan serta hari raya Idulfitri. Rutinitas di hari raya Idulfitri tentulah tetap berjalan sebagaimana mestinya, dimulai dari salat Idulfitri, bertegur sapa dengan saudara meskipun harus melalui jarak jauh via vidcall maupun pesan whatsapp, dan bercengkerama bersama keluarga di rumah. 

Bila sudah membicarakan hal tersebut, agaknya sedikit membawa kita pada kenangan saat-saat kita berkunjung ke rumah keluarga dan kerabat, atau saat-saat sibuk menyetok aneka jajanan khas lebaran dan menata ruang depan untuk bersiap menyambut tamu. 

Ketupat, opor ayam, kue nastar, tape ketan, dan hidangan-hidangan yang biasa kita nikmati bersama keluarga besar---kini mungkin saja suasana akan sedikit berbeda pada tahun ini, dimana kita terpaksa tidak bisa berkumpul seraya menikmati santapan di hari raya bersama, yang mana terbatas hanya dengan keluarga di rumah atau keluarga yang berkunjung.

Sumber gambar: freepik.com/odua
Sumber gambar: freepik.com/odua

Saya jadi teringat akan moment perayaan hari Idulfitri di kampung halaman ayah saya, yakni daerah Trenggalek, Jawa Timur. Selepas menunaikan salat Idulfitri berjama'ah, orang-orang akan duduk bersama di serambi surau seraya menikmati masakan ayam lodho. Hal itu sudah seperti tradisi yang dilakukan masyarakat daerah tersebut, yang saya nilai ini merupakan sesuatu yang baik untuk menjalin kebersamaan dan rasa kekeluargaan antar warga. Tidak sampai di situ, kegiatan dilanjutkan dengan ba'dan (mengunjungi rumah tetangga sekitar) yang kemudian disusul dengan menandangi rumah saudara pada keesokan harinya atau lusa.

Tahun ini, perayaan hari raya Idulfitri mungkin tidak akan diawali dengan perjalanan mudik, sibuknya menyiapkan oleh-oleh untuk saudara, menyiapkan berbagai macam masakan maupun roti kering untuk siapa pun yang bertandang, atau berkeliling bersama sanak saudara dari satu rumah ke rumah untuk menyambung tali silaturahmi, walaupun sebenarnya kita tetap bisa berkunjung asalkan tetap mematuhi protokol kesehatan, tetapi tentu akan berbeda rasanya bila dibandingkan ketika kita bebas tanpa rasa takut akan bahaya virus yang ada di sekitar kita. 

Ya, mungkin aktivitas kita memang dibatasi oleh adanya protokol kesehatan; adanya aturan jaga jarak, masker, serta hal lain yang bisa saja menghambat gerak kita di ruang bebas. 

Namun, meskipun demikian, semua itu tak menghambat aktivitas kita dalam beribadah, seperti membayar zakat fitrah, menunaikan salat Idulfitri, dan tak lupa tetap menjalin komunikasi dengan saudara dan kerabat. Esensi dari hari raya Idulfitri itu sendiri pun tetap dapat kita raih, bahwa Idulfitri merupakan hari kemenangan umat muslim, hari dimana kita kembali fitri atau suci.

Pada akhirnya, setelah satu bulan menjalankan puasa Ramadan, diharapkan kita kembali pada fitrah. Kembali pada fitrah ini bagaimana maksudnya? 

Menurut informasi yang bersumber dari laman madinatuliman.com, seorang muslim yang kembali pada fitrahnya ini ditandai dengan beberapa sikap. 

Pertama, ia tetap istikamah dalam memegang agama Islam dan yakin bahwa Allah Swt. itu Maha Esa dan hanya kepada-Nya kita memohon. Kedua, ia akan selalu berbuat dan berkata yang benar meskipun perkataan itu pahit. Ketiga, ia tetap berlaku sebagai abid, yakni hamba Allah Swt. yang selalu taat dan patuh kepada perintah-Nya, contohnya seperti menghormati kedua orang tua, dalam hal ini kita harus berperilaku sopan, bertutur kata yang baik, membantu kedua orang tua, dan tak lupa mendoakan kedua orang tua kita agar selalu dalam lindungan Allah Swt, dilancarkan rezeki dan urusannya, serta diberikan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Semoga dengan rangkaian ibadah yang kita lakukan di bulan suci Ramadan, Allah Swt. meridhai kita dan kita termasuk orang-orang yang kembali pada fitrohnya. Dan juga, kita harus tetap bersyukur apapun keadaannya. Pandemi yang masih kita hadapi ini tentu juga diiringi hikmah yang dapat kita ambil dan kita jadikan pelajaran berharga. Misalnya, kini kita jadi lebih sadar dan menghargai apa arti sebuah pertemuan. Benar, bukan?

Akhir kata, mari kita lakukan yang terbaik dan maksimalkan ibadah kita di sisa bulan Ramadan yang ada. Dan semoga, Allah Swt. masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu bulan Ramadan di tahun-tahun selanjutnya. Aamiin ...

Demikian uraian dari artikel ini, semoga bermanfaat~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun