Mohon tunggu...
Ilhan Hakiki
Ilhan Hakiki Mohon Tunggu... Lainnya - Private

Ubahlah Keputusasaan Menjadi Harapan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kenangan Khusus

11 November 2020   18:52 Diperbarui: 11 November 2020   18:54 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Cerita ini dimulai sejak aku masih kecil. Namaku Ilhan Hakiki, aku lahir dari keluarga sederhana di Ciamis. 1 bulan setelah hari kelahiranku, aku langsung dibawa ke Bandung karena kedua orang tuaku harus kembali bekerja. Waktu umurku masih 4 tahun, kala itu aku seringkali ditinggal oleh kedua orang tuaku untuk bekerja. Aku mengidap penyakit asma dan beberapa temanku merasa takut penyakit itu menular kepada mereka. Sehingga mereka terkadang menjauhiku ketika penyakitku kambuh. Sendiri di rumah tanpa teman bermain sudah menjadi hal biasa bagiku.

Hingga pada suatu hari, aku mendapat kabar dari kedua orang tuaku bahwa aku memiliki seorang kakak laki-laki di Ciamis. Namanya Fikri Fauzi, kami sudah dipisah dari sejak lahir karena faktor ekonomi dan kedua orang tua kami yang tidak memiliki waktu untuk mengurus kami berdua sekaligus. Kakakku tinggal bersama neneknya.

"Ade, besok kita akan ke rumah nenek. Ade nanti akan ketemu A Iki." Ucap ibu dengan senyum lebarnya. Begitu senangnya diriku mendengar hal itu, aku berfikir akan memiliki teman baru untuk menemaniku bermain. "Acik, acik." Ucapku yang masih belum pandai menyebut huruf S. Tidak sabar hatiku menantikan hari esok, waktu yang terasa lama itu aku lewati dengan membayangkan apa yang akan aku dan kakakku lakukan nanti.

"Ade, bangun. Kita siap-siap untuk berangkat." Suara ibuku yang halus membangunkanku dengan usapan tangannya yang lembut. Hari itu, kedua orang tuaku sedang libur kerja untuk beberapa hari ke depan. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menginap di rumah nenek.

Perjalanan dari Bandung menuju Ciamis kami tempuh dengan menaiki motor. Sepanjang jalan, aku terus memikirkan seperti apa kakakku itu. "Ibu, ade mau berdiri." Ucapku yang mulai merasa pegal untuk duduk. "Iya, tapi jangan loncat-loncat!" Ibuku mengiyakan keinginanku, lalu dia memegangku erat agar tidak terjatuh dari motor.

Kami sesekali istirahat di sebuah warung atau tempat makan. "Ibu, mau Pop Mie." Kataku sambil melihat Pop Mie di warung itu. "Ibu, Pop Mienya 1 dan tidak pakai pedes." Pesan ibuku pada ibu penjaga warung itu. Pop Mie panas yang dipesan itu akhirnya datang juga padaku. Sesegera mungkin aku menyantapnya. "Enak." Kataku dengan mulut yang masih dipenuhi mie. Ibuku kembali tersenyum melihat tingkah lakuku yang menggemaskan.

Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Ciamis. Sepertiga perjalanan sudah kami tempuh, namun hal buruk terjadi. Saat melewati sebuah jembatan, ada sebuah mobil Kol buntung dari lawan arah yang tiba-tiba masuk ke lajur kanan. Ayahku tidak bisa menghindarinya dan terjadilah tabrakan yang cukup parah. "Ibu, ibu. Cakit, cakit." Aku hanya bisa merengek kesakitan, tidak lama ayahku datang dan menggendongku. "Ayah, cakit." Aku mengulangi kalimat yang sama pada ayahku. Betapa terkejutnya aku saat melihat ibuku mengeluarkan darah, pelindungku itu tergeletak di sisi jembatan dan hampir jatuh.

"Ayah, ibu kenapa?" Tanyaku pada ayah. Ayah tidak menjawab, dia malah membawaku pergi menjauh dari ibuku. Sesekali aku merasakan sakit di bagian kepalaku, mungkin karena benturan yang cukup keras. "Ade kuat." Ayahku mulai menguatkan diriku yang sedang digendongnya.

Mobil Ambulance datang, menandakan akan ada yang dibawa ke rumah sakit. Ayahku membawaku pulang, sedangkan ibuku dibawa oleh mobil Ambulance menuju rumah sakit. Perjalanan ke Ciamis untuk menemui nenek dan kakakku pun terhenti.

"Ayah, ibu." Panggilku yang baru saja sadar, sekujur tubuhku dipenuhi luka. "Ayah pergi ke rumah sakit de." Ucap seorang wanita cantik yang mirip sekali dengan ibuku, suaranya lembut, jari tangannya halus. Persis seperti ibuku. "Cakit, cakit ini, cakit itu." Aku menunjuk beberapa bagian tubuhku yang terasa sakit.

Sosok wanita cantik itu meniup luka yang aku tunjukan, berharap rasa sakitnya akan berkurang. Aku dikelilingi oleh banyak orang yang tidak asing, mereka adalah keluargaku. Namun aku hanya bisa ingat beberapa orang saja. Kepalaku kembali sakit, aku mulai melupakan senyuman ibuku waktu melihatku memakan Pop Mie. Seolah sosok wanita cantik di depan mataku saat itu adalah ibuku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun