Mohon tunggu...
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Q. Moehiddin Mohon Tunggu... -

Sekadar berbagi pemikiran untuk nilai-nilai yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Cerpen] Mencerap Capung

15 Agustus 2011   17:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:45 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Capung (Dragonfy) di sisi sungai berkabut (sumber foto: accad.osu.edu)

Oleh: Ilham Q. Moehiddin Bhara melompati pematang dan terus berlari ke arah hutan. Dia tak hirau pada seruan Dewik yang berjarak cukup jauh di belakangnya. Wajah Dewik terlihat kesal sekali, tapi Bhara terus saja berlari. Kini Bhara sudah nyaris sampai di mulut hutan dan sebentar lagi akan segera menghilang. Tingkah Bhara itu adalah hasil dari pertengkaran kecil beberapa saat yang lalu.

***

“Jangan ikut!” Bhara nyaris berteriak. “Kenapa tak boleh ikut! Teriak Dewik membalas, “kalian menyembunyikan sesuatu dariku, kan?” Wajah Dewik galak bukan main. “Bukan tak boleh....tapi belum waktunya.” Bhara menyahut lagi, tangannya merenggut katapel yang tergantung pada paku di dinding. “Ah, sama saja. Bilang saja kalau kalian tak mau mengajakku!” Dewik tetap bertahan pada sikapnya. “Huh....!” Desah Bhara kasar. Ditepisnya tangan adiknya yang hendak merenggut ujung kemejanya. Dewik biasa melakukan itu jika berniat menahan abangnya agar tidak kemana-mana dan meninggalkannya sendirian. Tak akan dilepasnya ujung baju abangnya, sehingga ibu mereka datang melerai. Bhara menggunakan kesempatan itu. Dia melompat ke beranda depan, lalu melompat sekali lagi, melewati tangga, menjejak tanah. Dewik berteriak kesal, memanggil ibu. Tapi Bhara sudah cukup jauh. Terpaksa Dewik pun mengejar. Tapi lari Bhara tentu saja tak bisa disaingi oleh Dewik. Sebentar saja abangnya itu sudah sampai di hamparan sawah kering, dan dengan lincah melompat kesana-kemari, melampaui pematang. Orang-orang kampung baru usai panen raya, menyisakan deretan sawah kering yang dipenuhi timbunan jerami, dionggokkan dengan sengaja di tengah-tengah petakan. Dewik tak melanjutkan pengejarannya. Dia menjatuhkan diri ke salah satu pematang, dan berusaha menahan air matanya agar tak jatuh. Hatinya kesal sekali. Entah apa yang sedang dirahasiakan abangnya itu.

***

Esok harinya, sepulang sekolah, Dewik sudah duduk gelisah di beranda depan. Sesekali ditengoknya jalan besar di depan rumahnya. Setiap kendaraan umum yang melintas diperhatikannya dengan saksama. Dan, pada setiap kendaraan yang berhenti, diharap-harapkannya sosok abangnya, si Bhara itu, yang turun. Bhara bersekolah di salah satu sekolah menengah pertama di kota kecamatan ini. Jam pulang sekolah Bhara seringkali lewat dari biasanya. Kadangkala, Dewik sudah usai makan siang dan membantu ibunya berbenah di dapur, barulah abangnya itu muncul. Dewik mendesah lega, saat melihat sebuah angkot berhenti dan menurunkan abangnya. Dia harus bisa membujuk abangnya agar membawanya serta ke hutan kecil di pinggiran desa mereka. Itulah satu-satunya tekad Dewik hari ini. Bhara tersenyum padanya, begitu kakinya lepas dari anak tangga terakhir dan menjejak beranda depan itu. Aneh, guman Dewik dalam hati. “Hari ini abang harus membawaku bersama abang!” Dewik berseru pada Bhara. Keinginannya sudah tak tertahankan lagi. Begitu usai dia menegur abangnya serupa itu, sedikit kelegaan menyusupi hatinya. Tapi abangnya tidak menanggapinya kasar kali ini. Bhara hanya tersenyum, mengangguk dan bilang, “tunggulah abang barang sebentar. Usai makan siang, kau boleh menemani abang ke hutan. Wak Bajin sudah menunggu di sana.” Kata Bhara, lalu masuk ke kamarnya. Wak Bajin? Apa pula hubungan rahasia abangnya itu dengan Wak Bajin? Paman dari pihak ibunya itu sudah tak pantas lagi bergaul dengan remaja sepantaran Bhara. Dewik sekarang diliputi pertanyaan-pertanyaan baru. Dia tegak mematung di depan kamar abangnya. Saat Bhara keluar kamar, Dewik terus saja menatap abangnya dengan wajah seperti sedang memohon sesuatu. “Hei....,” tegur Bhara, “kau harus belajar bersabar untuk mendapatkan sesuatu. Jika kau kerap mendesak orang macam itu, bukan sesuatu yang kau harapkan yang datang, tapi kau lebih banyak kecewa.” Kata Bhara menyabarkan adiknya. “Tenanglah barang sebentar, duduklah dulu. Kau harus belajar sabar seperti Capung. Hewan itu lebih pandai dari kau rupanya, ha ha ha....” tukas Bhara sambil tertawa, meninggalkannya sendirian menuju ruang makan. Bah! Bhara memang senang mengulur-ulur waktu. Senang hatinya jika melihatku gelisah macam ini—gumam Dewik. Tapi, apa sebenarnya yang dilakukan abangnya itu di tengah hutan bersama Wak Bajin. Sepengetahuan Dewik, di sebalik hutan kecil itu adalah padang luas yang ditumbuhi Ilalang dan sedikit perdu berduri. Kadang burung Branjangan menyimpan telur mereka di cerukan tanah, di bawah perdu-perdu itu. Anak remaja senang sekali memerangkap mereka untuk dipelihara. Tapi lebih sering menunggui dan menjerat biawak yang datang hendak mencuri telur Branjangan. Dewik pernah ke padang itu. Arealnya cukup luas, kurang lebih dua kali lapangan bola sepak. Padang ilalang itu adalah pemisah antara areal hutan kecil dan kaki bukit Sangampuri. Dari bukit itulah, ada percabangan anak sungai yang mengalir melewati pinggiran padang. Anakan sungai itu tak lebar, hanya dua meter setengah lebarnya, dan kedalaman airnya hanya sebatas lutut remaja. Airnya mengalir tenang, walau musim penghujan sekalipun. Maka itulah, orang-orang desa memanfaatkan sumber aliran air ini sebagai sumber pengairan sekunder bagi hamparan sawah di pinggiran desa. Dewik hampir saja terlelap akibat lelah menunggu, saat dia terkejut disentak abangnya. Bhara tersenyum padanya. “Ayo, sekarang saatnya. Wak Bajin dan anak-anak lainnya pasti sudah menunggu,’ ujar Bhara.

***

Ah, mereka tak cuma berdua rupanya. Wak Bajin sudah menunggu bersama anak-anak lainnya. Untuk membunuh penasarannya, Dewik memutuskan diam saja sambil mengikuti langkah abangnya. Tidak lima menit, mereka berdua sudah sampai di batas antara sawah dan mulut hutan. Abangnya berjalan pelan, seperti menuntun dirinya. Sesekali abangnya mempermainkan ketapel kayu yang tergantung di lehernya. Agak lama kemudian, telinga Dewik sudah menangkap suara gurau anak-remaja lainnya. Berarti mereka hampir mencapai tepian lain dari hutan kecil ini. Begitu sampai pada kerumunan anak-remaja lainnya, mata Dewik dibuat terpukau dengan pemandangan di depannya. Padang Ilalang itu ternyata sedang memekarkan banyak sekali bunga rumput. Warnanya jingga dan kuning, elok sekali. Pemandangan itu menghampar sempurna dan luar biasa indah. Tapi, tak dilihatnya Wak Bajin. Kemana pamannya itu? Kata Bhara, pamannya itu ikut serta pula hari ini. “Kemana Wak Bajin?” Tanya Dewik pada abangnya. “Oh, Wak Bajin sebentar lagi akan muncul. Tapi paman sudah sedari tadi di sini, sedang melakukan sesuatu di dalam hutan sana,” kata Bhara sambil menunjuk ke arah hutan kecil di belakang mereka. “Kau mau melihat apa yang dilakukan Wak Bajin, ya?” Tanya Bhara. Dewik mengangguk mengiyakan. Bhara kembali berjalan mendahuluinya. Mereka berjalan, hingga mendapati pinggiran aliran sungai kecil. Selanjutnya mereka berjalan menelusuri pinggiran sungai kecil itu, sampai mata mereka melihat seorang lelaki dewasa. Itu Wak Bajin, dan dia sedang merunduk-runduk, mendekatkan matanya ke semak air di pinggiran sungai. Serius sekali tampaknya dengan apa yang sedang dilakukannya. “Mereka hampir kering semua!” Seru Wak Bajin. Wak Bajin adalah sarjana biologi dari perguruan tinggi ilmu pendidikan di Jakarta. Baru sekitar dua tahun dia kembali ke desa ini. Rencananya, Wak Bajin akan mengabdi sebagai guru pada salah satu sekolah menengah pertama di sini. Tapi nasib belum berpihak padanya. Tak ada lowongan bagi guru biologi dalam waktu dekat, dan oleh kepala sekolah dia diminta bersabar menunggu. Sesekali waktu, Wak Bajin mengisi jam mengajar yang kosong sebagai guru pengganti. Lumayan honornya. Dewik menjulurkan lehernya, hendak pula melihat lebih dekat apa yang sedang dikerjakan pamannya itu. Tiba-tiba Dewik menjerit takut. “Itu kan....ulat!” Teriak Dewik sambil berjalan mundur. Dia nyaris jatuh ke air, jika saja Bhara tak tangkas menyambar tanggannya. Bhara dan Wak Bajin tertawa terbahak-bahak. Wak Bajin menarik tangan Dewik yang masih setengah takut agar mendekat. Wak Bajin memegang pundaknya, sambil menunjuk pada sejumlah benda yang melekat tak bergerak di batang-batang semak air. “Itu bukan ulat. Itu bakal Capung, disebut juga Nimfa,” jelas Wak Bajin, tersenyum, “Nah, lihatlah Wik, beberapa capung sudah berhasil keluar dari tubuh Nimfa, dan mereka sedang menunggu sayap-sayapnya kering dan kakinya kuat untuk bisa terbang.” Dewik memang melihat ada banyak Capung yang masih bertengger diam di batang-batang semak air. Ada yang sayapnya masih terlipat kusut, tapi sebagaian besar sudah mengembang dan sedang berusaha mengepak-ngepak gugup. “Memang agak lama mereka bertingkah macam itu sebelum benar-benar siap untuk terbang,” jelas Wak Bajin. “Setelah meninggalkan tubuh Nimfa dan mengering dengan sempurna, capung akan mencoba seluruh kaki dan sayapnya. Kaki-kaki dilipat dan diregangkan satu demi satu dan sayapnya dinaik-turunkan. Nah, seperti itu,” kata Wak bajin sambil menunjuk seekor capung yang sedang mengerak-gerakkan sayap dan kakinya. “Sebelum kalian datang, sudah banyak capung yang berhasil terbang, dan langsung menuju ke padang itu.” Kata Wak Bajin sambil menunjuk padang Ilalang yang dipenuhi bebungaan jingga dan kuning. “Ini rupanya yang kalian rahasiakan selama ini. Mengapa tak memberitahuku sejak awal?” Ujar Dewik bersungut-sungut, protes. Bhara tertawa-tawa senang, dan Wak Bajin hanya tersenyum. “Tadinya paman hendak mengajakmu juga, sebab bagus sekali jika kau mempelajari capung ini sejak awal. Tapi abangmu itu memang sengaja hendak mengerjaimu saja.” Dewik merengut kecewa. Wak Bajin kembali tersenyum melihat wajah Dewik serupa itu. “Tak mengapa. Wak Bajin akan jelaskan lagi,” ujar Wak Bajin membujuknya. “Capung memang senang bermain di permukaan air. Seperti biasa, mereka bertempat di aliran air macam ini. Walau ada juga yang senang tinggal di aliran air yang cuklup deras. Ketika hendak bertelur, Capung betina akan mencari air dengan kedangkalan tertentu dan meletakkan telur-telurnya di situ. Telur Capung berupa untaian bola putih yang sangat kecil namun kuat. Setelah menetas, kepompong atau nimfa Capung akan tinggal di dalam air selama tiga sampai empat tahun. Untuk bisa bertahan hidup, dengan capitnya yang kuat, nimfa memakan hewan kecil seperti ikan atau berudu. Nimfa menggunakan waktu-waktu itu untuk memperkuat lapisan tubuhnya.” Wak Bajin kini berjongkok sambil meraup air sungai. “Itulah mengapa orang desa mempercayai Capung sebagai penanda air bersih. Karena, ketika masih berupa nimfa, sebagian besar hidup Capung dihabiskannya di dalam air. Makanya, nimfa Capung butuh kondisi air yang baik; bersih dan tidak mengandung zat pencemar. Jika orang-orang melihat nimfa dalam air, atau melihat Capung beterbangan di atas permukaan air, itu artinya, air tersebut bersih.” “Selama tiga atau empat tahun itu, nimfa akan melepaskan kulitnya dalam empat masa yang berbeda. Hingga sampai pada perubahan terakhir, Nimfa akan meninggalkan air dengan memanjati batang tumbuhan atau batu, hingga kaki-kakinya terpancang kokoh. Nimfa akan berdiam di situ, melakukan proses pengubahan wujudnya menjadi capung, seperti yang kita lihat sekarang ini.” Dewik mengangguk-angguk mengerti. Kini dia mulai memberanikan diri mendekati beberapa capung yang sedang bersiap terbang. Wak Bajin tersenyum melihatnya. “Lalu kulitnya lamanya bagaimana?” Tanya Dewik ingin tahu. “Itu namanya Exuviae. Setelah kering akan jatuh sendiri dan terbawa air. Itu proses alami, Dewik,” jelas Wak Bajin. “Manusia pun bisa belajar dari mencerap cara hidup Capung. Manusia harus arif menjaga lingkungannya agar tetap bersih sebagaimana halnya Capung. Menghargai kehidupan seperti yang tercermin dari keseluruhan proses perubahan dan hidup Capung. Secara kerohanian, Capung juga adalah contoh yang baik, sebagaimana Capung dewasa yang menjaga air dalam masa hidupnya yang demikian singkat.” Jelas Wak Bajin sambil tersenyum. Setelah menjelaskan semua proses alami Capung, Wak Bajin mengajak Bhara dan Dewik meninggalkan tempat itu untuk bergabung bersama anak-remaja lainnya. Mereka semua melepas lelah di gundukan tanah sambil memandangi Capung-capung yang beterbangan riang di antara bunga-bunga rumput. *** [caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Capung (Dragonfy) di sisi sungai berkabut (sumber foto: accad.osu.edu)"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun