Mohon tunggu...
Ilham Pasawa
Ilham Pasawa Mohon Tunggu... Novelis - ~Pecandu Kopi~

Manusia yang ingin memanusiakan dan dimanusiakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Prasangka

8 April 2021   06:26 Diperbarui: 8 April 2021   06:48 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rembulan itu benar-benar menghisap perhatianku. Dari balik jendela kamar yang kayunya sudah lapuk, Kupandangi ia. Memang ia sudah tak utuh, hanya menyisakan segaris cahaya lengkung membentuk sabit. Tetapi meski begitu, ia tetap memanjakan mata, terlebih dengan satu bintang yang bertengger manis di sisinya. Ah, benar-benar indah. Angin malam yang datang sayup-sayup juga menambahkan esensi kedamaian pada malam ini. Jiwaku seperti menari-nari di atas pasir halus yang mengambang di angkasa, ditopang oleh lautan awan yang serupa permen kapas. Aku benar-benar mabuk malam ini.

Namun, sesuatu merusak momen itu. Ia memecah kebahagiaanku, memecahnya menjadi serpihan tak berarti. Ia hancur begitu saja. Kenapa mereka selalu membuatku berpikir untuk pergi saja meninggalkan rumah. Membuatku berpikir untuk mencari tempat lain yang bisa kusebut sebagai rumah. Kemana lagi aku harus mencari tempat pulang jika tempat yang kusebut sebagai rumah tak lagi bisa mendamaikan. Bukankah rumah itu adalah tempat terindah dalam hidup. Tempat yang semestinya hadir berjuta cinta dan kasih sayang? Lalu kenapa aku tak menemukan itu? Aku hanya menemukan kebencian dan kekerasan setiap saat. Aku tak lagi mendengar kalimat-kalimat indah yang mengusap kepalaku sebelum tidur. Aku hanya mendengar sumpah serapah yang memukuli kepalaku. Kenapa mereka tak pernah mau mengerti?

Di sekolah, saat teman-teman asik berbincang satu sama lain, aku terus saja dihantui kalimat-kalimat menyedihkan yang terlempar di rumah. Ia terbawa sampai ke sekolah. Pikirku, mungkin aku bisa menemukan kebahagiaan lain di sekolah. Tetapi lagi-lagi, aku tak menemukan cinta di sekolah. Guru-guru hampir seluruhnya menganggapku siswa yang malas, siswa yang tak bersemangat belajar. Mereka dengan mudahnya menganggapku seorang anak nakal yang tak bisa diajari, ya! Mereka menganggapku seperti itu, bahkan sebelum mereka mencoba memahami dan mengerti, mereka sudah bisa menilaiku, hebat sekali!

Aku tak menemukan cinta dan kasih sayang itu di tempat yang kata orang adalah tempat belajar dan tempat membentuk karakter. Aja tak menemukan itu. Di sini hanya ada atura-aturan dan perlombaan. Di sekolah, aku hanya mendapat satu pelajaran, satu-satunya yang aku pelajari adalah soal persaingan dan perebutan kelas. Mereka yang pintar dan rajin akan berada pada kasta tertinggi dalam rangking tahunan. Sementara orang sepertiku hanya dianggap sebagai pemenuh kuota kelas. Di saat guru-guru itu mengajar, ia hanya melempar materi begitu saja, aku yakin dia sendiri pun boleh jadi belum menguasai materi yang diajarkannya tersebut. Ia hanya menuntaskan tugasnya sebagai pekerja pendidikan, sebagai tenaga pengajar di pabrik industri pendidikan. Memang tidak semua begitu, aku sempat setidaknya merasakan cinta dan kasih sayang dari seorang guru, meski itu singkat sekali. Kenapa orang-orang baik selalu dipanggil lebih dulu?

"Kamu mesti mencari tahu apa tujuan kamu hidup, diciptakan, dan ada di posisi seperti ini, Zaen." Ujar pak Rahman, guru semasa sekolah menengahku.

Kebetulan sekali aku bertemunya di salah satu kedai kopi, dia masih bujang. Saat aku SMP dia masih kuliah semester tiga di salah satu perguruan tinggi negeri di kota belimbing ini. 

"Jadi kita harus mengganti kalimat kata kenapa dengan apa tujuannya?" Ujarku menimpali.

"Seharusnya begitu, jika kamu terus-terusan bertanya kenapa? Maka akan ada banyak jawaban. Karena kenapa hanya akan menghadirkan alasan. Dan jika kamu bertanya apa tujuannya, kamu hanya akan menemukan satu jawaban, dan itu kepastian." 

Sambil meminum kopinya ia terus memberikanku wejangan dengan penuh kasih sayang. Aku merasakannya. Ia berkata bahwa aku sama sekali tak salah dan aku tidak harus bersedih dengan segala persoalan hidupku selama ini. Ia menasihati dengan mengajakku berpikir, mencoba membuatku untuk menemukan jawabannya atas persiapanku sendiri. Ini salah satu yang Kusuka, ia sama sekali bukan tipe guru yang suka mendikte, ia lebih suka mengajari proses ketbang hasil. Jika guru-guru lain hanya memberikan pelajaran dengan mendikte, ia berbeda, ia mengajakku dan murid lainnya untuk berpikir bersama. Dan itu katanya, adalah karena aku, murid yang lain dan ia memiliki kelas yang sama. Dia selalu berkata begitu di depan kelas, begini katanya, bahwa guru dan murid haruslah bisa terkoneksi satu sama lain. Guru dan murid meski tak ada sekat, yang mesti ada hanya adab dan sopan santun. Karena adab itu yang akan menjadi lintasan dari ilmu yang akan ditransmisikan. Bukan hanya murid yang mesti beradab, guru pun mesti begitu. Seorang guru mesti bisa memahami muridnya, dan sebaliknya. Guru dan murid ibarat sepasang kekasih yang mesti ada cinta untuk mengikat hubungannya. Jika tak ada cinta, maka tak akan ada hikmah dan manfaat. 

Pak Rahman, ia selalu melempar cinta dalam setiap kelasnya. Andai saja sekolahku yang sekarang ada sosok guru sepertinya. Di kesempatan malam itu, aku coba menceritakan soal guru-guruku di sekolah SMAku, tetapi ia memiliki tanggapan yang mengejutkan.

"Tidak, guru-guru di sekolahmu tak sepenuhnya salah. Ada hal yang membuat mereka seperti itu. Itu adalah sistem! Andai saja para guru tak diberatkan dengan segudang admistrasi dan hal lain di luar urusan mengajar, maka mereka akan lebih fokus mengajar. Dan kamu juga mesti ingat, latar belakang semua guru berbeda-beda, dan cara orang mengungkapkan cinta juga berbeda. Ada yang dengan marah-marah, dengan kelembutan, bahkan ada yang hanya mendoakan. Tadi sudah saya bilang, hubungan guru dan murid mestilah sepasang kekasih, harus saling mencintai dan memahami. Agar hikmah ilmu itu berjalan dengan mulus sekali."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun