Mohon tunggu...
Ilham NurWijayakusuma
Ilham NurWijayakusuma Mohon Tunggu... Freelancer - 1903016078 FITK UIN Walisongo

Just flow like a river

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah Bukan Segalanya

22 Oktober 2019   08:22 Diperbarui: 22 Oktober 2019   08:29 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebelum pergi ke universitas masyarakat pra-revolusi industri praktis belajar secara otodidak atau melalui proses belajar non-formal atau  bahkan informal. Yang dikenal hanya ijazah sarjana, magister atau doktor. Itupun diberikan jika mahasiswanya meminta. Jadi, sekolah adalah fenomena yang umurnya kurang dari 200 tahun. Dalam 200 tahun itulah proses perusakan ekosistem global terjadi secara masif yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah evolusi manusia.

Untuk memastikan pendidikan universal bagi kebanyakan anak-anak Indonesia, yang diperlukan adalah pengembangan sebuah jejaring belajar yang lentur, luwes, lebih non-formal, bahkan informal. 

Sekolah hanya salah satu simpul dalam jejaring belajar tsb. Bengkel, toko, klinik, studio, lembaga penyiaran, penerbit, perpustakaan kecamatan, restoran, koperasi, gereja, kuil, dan masjid dapat menjadi simpul-simpul belajar. Namun, simpul belajar yang pertama dan utama adalah keluarga di rumah.

Kegagalan sistem persekolahan ditunjukkan secara gamblang diabad 21 didepan mata kita oleh krisis hutang (pribadi, korporasi dan negara) di Amerika Serikat dan Eropa yang dengan kekaguman kita sebut modern itu. 

Amerika Serikat adalah negara dengan hutang terbesar di dunia. Keberlimpahan "negara kesatu" itu ternyata dicapai melalui hutang untuk membiayai gaya hidup yang sangat konsumtif, boros energi dan merusak lingkungan. Padahal baik AS maupun Eropa adalah masyarakat yang "paling bersekolah" dengan "kurikulum yang paling canggih".

Formalisme kronis persekolahan harus dikurangi seminimal mungkin. Oleh Illich ini disebut deschooling. Saat ini di Indonesia schoolism sudah pada tingkat yang berbahaya. TK saja mengeluarkan ijazah. Ijazah seolah menjadi bukti kompetensi seseorang. Kasus ijazah palsu yang marak terjadi adalah bukti bahwa memang masyarakat lebih membutuhkan ijazah daripada kompetensi. 

Hanya yang butuh ijazah yang butuh sekolah. Kita yang tidak butuh ijazah tidak butuh sekolah, apalagi kurikulum. Tanpa kurikulum resmi sekolah akan baik-baik saja. Tanpa sekolahpun kita sebenarnya baik-baik saja. Kita boleh mulai khawatir kalau kita tidak belajar. Pendapat diatas dikemukakan oleh Prof. Daniel Muhammad Rosyid, Ph. D.

Kasus yang bertolak belakang terjadi disebuah Sangar Anak Alam atau yang sering dikenal dengan SALAM. SALAM adalah salah satu sekolah atau bahkan satu-satunya sekolah yang tidak mengunakan kurikulum sebagai acuan dasar pengajaran ataupun proses belajar. 

Seorang murid dengan bebas memilih materi yng ingin mereka pelajari. Sehingga tidak akan ada pertanyaan dalam benak mereka belajar fisika ini untuk apa sih? Dan lain sebagainya. Apa yang ditimbulkan? Dengan metode seperti ini pengetahuan yang muncul adalah pengetahuan yang benar-benar dibutuhkan oleh anak dan tentu saja seorang anak akan dengan sukrela mempelajari materi yang diajarkan karena mereka sendiri yang memilih untuk mempelajarinya.

Kita itu negara agraris, tapi pemerintah malah bikin program cuci tangan dengan sabun, kesanya tanah itu jadi kotor dan tidak higienis. Anak jadi jauh dengan sawah. Di Papua juga, dulu kaki-kaki mereka tidak terluka jika terkena duri dihutan, tapi sejak ada sekolah yang mewajibkan mereka untuk memakai sepatu, menjadikan mereka terbiasa menggunakan alas kaki dan tak bisa masuk hutaan lagi. Padahal itu adalah lingkungan mereka. Menurut saya, sekolah justru menjauhkan mereka dari lingkungan dan kehidupan yang sesungguhnya. (Berdasarkan jurnal muPsikologis Pendidikan)

Kesimpulan
Belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan aneka ragam keterampilan, kemampuan dan sikap. Yang ketiganya tersebut diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai masa bayi sampai masa tua melalui proses belajar sepanjang hayat. Kemampuan belajar inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun