Pagi itu aku sedang sibuk di pasar kota. Memanggul beberapa beban untuk orang-orang yang mempekerjakanku. Dari belakang, ketika aku memanggul keranjang berisi buah-buahan, ada yang menepuk pundakku.
"Sebentar San. Penting!" suara dari belakang yang aku sudah tahu. Dia adalah Ki Sarun. Lelaki yang hanya bicara jika sangat penting. Selebihnya dia seperti orang yang menyumpal mulutnya dengan bara.
Kulepas panggulanku, Ki Sarun agak menyeretku. Membawaku ke pojokan pasar. Tempat yang sepi.
"Jangan kaget. Besok malam jam 11 malam. Kamu akan kedatangan tamu. Temanmu Salim. Teman dari balik bukit macan. Jangan kaget karena Salim sudah jadi manusia berkepala kuda. Siapkan mentalmu dan istirahatlah yang banyak. Karena kau akan dapat banyak cerita dari karibmu itu," kata Ki Sarun kemudian berlalu tanpa dosa.
Tak ada yang tak percaya dengan omongan Ki Sarun. Dia hanya bicara jika sangat perlu saja. Selebihnya, mulutnya seperti disumpal bara. Â Aku percaya omongannya. Nanti aku siapkan diri dengan baik.
Memang, sudah tiga hari ini, tak ada orang yang bisa masuk ke balik bukit macan. Kampung di balik bukit macan itu gelap ditutup awan. Tak ada jalan yang jelas pula, semua terasa buram dan mengerikan. Bau binatang berserakan di sana. Itu sih kata orang. Aku sudah lama tak main ke balik bukit macan.
Aku merasa perlu mendatangi Kang Diman, sais kereta kuda. Dia punya satu kuda. Aku merasa perlu terus menatap kuda itu secara dekat dan seksama. Aku perlu membaui kuda itu. Supaya aku tahu bagaimana nanti bicara dengan Salim yang sudah jadi manusia kuda.
***
"Kang, aku ingin lihat kudamu dari dekat!" kataku tanpa permisi pada Kang Diman. Dia saudara sepupuku, 10 tahun lebih tua dariku. Jadi, kami memang sudah biasa bicara tanpa awalan dan akhiran. Langsung ke poin utama.
"Mau apa?" kata Kang Diman sembari agak teriak karena aku laju kencang ke kandang kudanya.