Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Ade Armando, Kebencian, dan Merasa Paling Benar

16 April 2022   13:05 Diperbarui: 16 April 2022   13:14 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ade Armando dikeroyok. Foto: kompas.com/m amalia hapsari

Komentar merebak di dunia maya setelah Ade Armando dihajar dan nyaris ditelanjangi belum lama ini. Tapi, sebagian komentar itu menyimpan bau busuk yang tajam.

Aku mengendus bau busuk itu. Bau busuk yang membelenggu anak manusia Indonesia lewat komentarnya. Bau busuk yang mendarah karena kebencian yang dipupuk cukup lama sepertinya.

Benci dan kebencian telah menjauhkan manusia dari keadilan. Ketika benci pada di luar kelompok, maka segala sumpah serapah jadi hiasannya. Apapun kebaikannya, apapun dukanya, tetap saja diungkit kebenciannya.

Jika kelompok sendiri yang melakukan kesalahan, maka atas nama kebencian pada kelompok lain, pertahanan dirapatkan. Atas nama kebencian, tak ada kamus kesalahan bagi kelompok sendiri.

Lebih parah, kebencian itu dibalut dengan merasa benar sendiri. Tak peduli apapun penyimpangannya, asal yang berkomentar adalah kelompok sendiri, maka itu dinilai sebagai kebenaran. Pandangan kelompok lain selalu salah dan bermasalah. Tak ada ruang menghargai perbedaan.

Bayangkan saja, kebencian berbalut dengan rasa sebagai yang paling benar, maka muncullah kebencian berlipat. Kebencian berlipat ditambah dengan ketidakmauan untuk membaca (baca: kebodohan), maka kebencian berlipat-lipat.

Kebencian berlipat-lipat itu, hanya tinggal menunggu sedikit tetesan minyak dan percikan api yang bernama provokasi. Jika tetesan minyak dan api itu bercampur, maka selesai sudah peradaban. Selesai sudah Indonesia.

Fenomena kebencian berlipat-lipat itu, berulang aku lihat di dunia maya. Bukan makin berkurang, tapi makin beranak pinak. Kebencian berlipat-lipat seperti tikus yang terus bereproduksi.

Itukah yang akan kita wariskan pada anak cucu kita? Kebencian berlipat-lipat itulah yang kita wariskan pada anak cucu kita?

Sementara, di luar cerita kebencian berlipat-lipat itu, masalah lingkungan hidup makin merajalela. Plastik menggunung dan menjerat bumi kita. Masalah kerakusan telah menyebabkan kemiskinan muncul di mana-mana.

Jika sudah remuk seperti itu, peradaban apa yang akan kita pertanggungjawabkan pada anak cucu kita kelak?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun