Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aplikasi Kesehatan dan Potret Cara Pandang Kota

26 September 2021   06:45 Diperbarui: 26 September 2021   06:51 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada yang salah dengan aplikasi kesehatan seperti Peduli Lindungi. Bahkan, aplikasi tersebut sangat bagus dalam hal "melawan" pandemi. Namun, Indonesia bukan hanya kota dan Indonesia bukan hanya Jakarta. Artinya, aplikasi berbasis telepon genggam alias HP tak selamanya ramah dengan wilayah desa.

Tulisan ini bermula dari berita yang saya baca bahwa pengunjung minimarket di Kota Bekasi wajib mengunduh aplikasi peduli lindungi. Tentu tak masalah jika itu di daerah kota. Sebab, sepertinya tak ada orang di kota yang buta dengan aplikasi di HP.

Yang ingin saya katakan adalah, cara pandang kota ini jangan serta merta diterapkan di desa. Misalnya, pengunjung minimarket di desa wajib mengunduh aplikasi peduli lindungi. Bisa repot kalau seperti itu. Jangan pernah berpandangan bahwa semua orang Indonesia memiliki telepon genggam (HP). Jangan juga pernah berpandangan bahwa sinyal itu bukan lagi persoalan di negeri ini.

Saya yang hidup di desa dan masih melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana masih ada yang buta dengan HP. Jangankan memiliki, memegang mungkin malah tak pernah. Maaf, kepala keluarga dengan pendapatan kurang dari Rp 1 juta di masa kini, tidak memiliki HP pun menjadi permakluman.

Jika pun memiliki telepon genggam, maka serumah hanya punya satu HP. Sementara, warga di rumah ada lima. Apa mungkin misalnya, kalau mau ke minimarket yang sudah menjamah desa itu, harus meminjam HP anaknya. Padahal, anaknya tak tahu pergi ke mana? Ribet tentunya.

Apakah masalah ini bisa selesai dengan membelikan HP pada warga? Ya kalau pun dibelikan HP, siapa yang mau menanggung kuota atau pulsanya? Ya tak ada manfaatnya juga memiliki HP tapi tak ada pulsa atau kuota, apalagi di daerah yang sinyalnya istilahnya "Senin Kamis".

Poinnya?

Poin yang ingin saya ungkapkan adalah, jangan sampai membuat kebijakan berbasis cara pandang satu tempat saja. Jangan sampai membuat kebijakan yang berbasis cara pandang kota saja. Sebab, negeri ini adalah negeri yang besar. Negeri yang masyarakatnya bermacam-macam, dengan kondisi geografis yang bermacam-macam.

Jika kebijakan memandang dari satu sudut pandang, kebijakan tak akan pernah bisa adil. Kebijakan pada akhirnya hanya ramah pada mereka yang memiliki akses. Sementara, yang tak memiliki akses, tidak pernah dimudahkan dengan kebijakan, tapi jadi korban kebijakan.

Indonesia itu negara yang beragam. Bagi orang yang ada di "tepian" seperti saya, hendaknya kebijakan disesuaikan. Pemerintah memberi kemudahan yang berbeda di antara masyarakat yang berbeda. Masyarakat yang sudah melek HP dan semua memiliki HP, maka kebijakan berbasis HP adalah bentuk kemudahan.

Tapi, masyarakat yang tak melek HP (baik karena kondisi geografis atau ekonomi), tentu tak bisa diberi kemudahan melalui HP. Maka kata kunci kebijakan adalah opsi. Pemerintah perlu memberi beberapa opsi agar kebijakan menjadi ramah bagi banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun