Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jeritan Tanah

20 September 2021   08:41 Diperbarui: 20 September 2021   08:46 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sudah lelah. Aku sudah sangat lelah. Menerima semua perilakumu yang tak tahu malu itu. Kala mula, kau membuatku meronta. Dengan segenap kemampuanmu, kau menusuk tubuhku dengan bata, semen, dan tusukan besi.

Aku tak pernah mempermasalahkannya. Aku baik-baik saja. Tapi ketika kau membangun monument sangat tinggi, maka aku pun mulai renta untuk menahannya. Kau membangun bangunan untukmu banyak tingkat. Kau tak pernah berpikir bahwa aku bisa saja tak kuat.

Kau akan tahu di hari kemudian, jika kau membangun banyak gedung bertingkat itu, maka piluku akan menggebu-gebu. Aku akan makin terperosok ke dalam. Yang membuatku merana ketika kau tak hanya memukulku dari atas dengan bangunanmu itu, tapi juga mengambil penyanggaku.

Kau ambil air yang ada di lapisanku. Kau sedot semaumu. Akhirnya, aku makin terperosok ke dalam. Kau tak pernah berpikir soal bagaimana aku telah menopangmu puluhan tahun. Terima kasih pun tak pernah kau ucapkan. Bersedekah padaku pun kau sudah lupa, sudah tidak mau dengan membawa nama Tuhan. Kau, yak au, malah meremukkanku dengan amat sangat pilu.

Kau juga membuat hiasan yang menjijikkan. Banyak sampah yang kau tumpuk di atas ragaku. Sampah berserakan tak keruan. Makin menumpuk dan makin susah diolah. Kelak, ketika hujan tiba, kau tak pernah tahu bagaimana sungai-sungai itu berontak padaku.

Aku jadi kambing hitam karena sampah yang ada di lapisan atasku, tertimpa hujan dan hanyut di sungai. Bukan hanya satu sampah, tapi banyak sampah. Bukan hanya banyak sampah, tapi baunya luar biasa. Kau tak pernah tahu ketika sungai protes padaku dengan nyanyian bertalu-talu.

Kemarin, aku menangis tersedu-sedu. Kau membuang anak yang baru kau lahirkan. Kau membuangnya seperti membuang sampah. Kau lapisi dengan plastik agar tak berbau. Tapi, akhlak tak mengenal pelapis plastik. Perilakumu menyengat tak keruan dan membuatku banjir air mata.

Kau membuang oli, kau membuang kotoran, kau membabat tanaman, kau menyiramiku dengan obat-obatan yang mematikan. Jika aku roboh, kau tetap salahkanku. Dalilmu, semua bencana adalah faktor alam. Kau lemparkan kesalahan padaku. Apa itu!

Jika kelak hari akhir nanti. Aku akan mengadu pada Tuhanku, jika kau tak mampu memperlakukan penyanggamu dengan mutu. Sudah seperti itu, kau berlagak seperti malaikat. Kau berlagak seperti sosok suci sang penyelamat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun