Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Orang-orang Biadab, Kampungku Kena Azab

30 Mei 2021   11:33 Diperbarui: 30 Mei 2021   11:55 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto shutterstock dipublikasikan kompas.com

Sarmidi, sudah 70 tahun. Hidupnya hanya di atas kursi roda. Batas pandangnya hanya depan rumah. Itulah pemandangan yang bisa dia lihat secara alamiah.

Pagi sampai siang dia diletakkan di teras rumah. Hanya bisa memandang dan sedikit menggerakkan tangan. Suaranya sudah tak muncul. Jika dia lihat yang dia suka, hanya gembira.

Jika melihat yang dia tak suka, maka dia menangis teriak tapi tak keluar suara. Tiga hari ini dia benar-benar terpukul. Di depan matanya para wanita diperlakukan tak semestinya.

Diperlakukan tak semestinya oleh lelaki yang bukan keluarganya. Aku tak mau cerita detail. Tapi intinya, wanita dikoyak sebegitu rupa. Adalah lelaki yang punya kuasa yang melakukannya. Tak ada yang melawan karena ketakutan.

Sarmidi melihat itu dan dadanya sesak, dia mau teriak tak bisa. Tangan-tangannya mengacung, tapi hanya ditertawai oleh lelaki bejat itu. Sementara si wanita tak berdaya.

Sarmidi berurai air mata. Bukan hanya wanita, orang orang jahat itu menggunakan kekuatannya untuk memeras sesama. Sarmidi lihat bagaimana Kardi yang bujang itu diperas duitnya, oleh gerombolan manusia bejat, yang tak ada satu pun berani melawan.

Sarmidi melihat Kardi tak berdaya dihajar ke sana ke mari. Sarmidi kembali menangis, tangannya menunjuk-nunjuk, tapi hanya jadi bahan tertawaan.

"Apa pak nunjuk-nunjuk, itu pipis apa ya?" Kata seorang bejat yang menghajar Kardi.

Saat pemilihan kepala desa, semua orang diintimidasi agar memilih calon dari para gerombolan itu. Bahkan tak ada calon lain yang berani menjadi pesaing. Demokrasi telah dibajak!

Ada satu dua anak yang melawan, tapi kalah jumlah. Mereka yang melawan itu pun memilih pergi dari kampung biadab ini. Kampung yang banyak orangnya menelan darah dan tulang saudara sendiri.

Sarmidi hanya bisa terus menangis. Dia tak bisa lagi berkata. Tak mampu menulis karena jemarinya sudah sangat lemah bergerak. Sarmidi hanya ingin kampung, desanya, bisa seperti dulu lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun