Semua terhening. Sawah kami kekurangan air. Tak ada yang peduli. Petani ya seperti ini.
Kami kekurangan air karena aliran irigasi kami disabotase. Aliran irigasi kami, sebagian dialirkan ke kolam, di daerah bukit. Imbasnya, aliran ke sawah kami berkurang.
Tak hanya itu. Karena alasan pembangunan, aliran irigasi kami dibelokkan menjadi dua cabang. Sebagian airnya juga keruh karena untuk membuang limbah rumah tangga.
Runyam sekali. Ini sudah masa panen kedua irigasi kami dikoyak. Kami tak diam. Kami sudah tembusi si empunya kolam, si empunya rumah, anggota dewan. Tapi kami hanya menghasilkan keringat dan lelah.
Arif, lelaki tanggung itu, sudah menyiapkan parang di balik tubuhnya. Dia sudah kehilangan akal. Dia akan tebas siapa saja yang melawan kami.
Tapi untungnya kami punya Lek Sipon. Dia yang bercerita panjang lebar pada Arif. Intinya, melakoni kekerasan hanya akan jadi runyam.
"Kamu marah-marah juga semakin runyam. Bisa bisa kamu ditangkap aparat karena dinilai membuat keonaran. Nama kita cemar kalau seperti itu. Orang cemar, suaranya tak akan didengar," kata Lek Sipon.
Arif terdiam. Dia menyadari bahwa kami adalah orang yang kalah. Kami melawan dengan kekerasan, kami salah. Kami mencari jalan baik-baik, kami kalah.
*
"Kang, terus ini bagaimana. Kalau air mengalir sedikit seperti itu, antarkita berantem sendiri rebutan air. Petani melawan salah, tapi mereka dibiarkan berantem sendiri," kata Arif padaku.