Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kelemahan Opini Publik dan Dewa Kipas

21 Maret 2021   07:55 Diperbarui: 21 Maret 2021   08:00 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. sumber foto pixabay dipublikasikan kompas.com

Walter Lippman di tahun 1965 telah berbicara tentang kelemahan opini publik. Saya baca tentang kelemahan opini publik ini di buku Handbook Analisis Kebijakan Publik karya Fischer dkk, halaman 32.

Opini publik bisa bermasalah jika opini itu diungkapkan oleh mereka yang tak paham. Apalagi yang tak paham ini kemudian menjamur.  Misalnya, banyak orang yang tak paham tentang sepak bola, kemudian berbicara sepak bola. Mereka yang tak paham sepak bola itu mencampuradukkan antara Piala Dunia dengan Liga Champions.

"Harusnya Bayern Munchen lawan Jerman di Piala Dunia," misalnya seperti itu omongannya. Jelas salah kaprah karena Piala Dunia dan Liga Champions itu beda alam.

Coba bayangkan jika banyak orang tak paham kemudian menjamuri ranah opini publik. Runyam pak cik! Lippman kemudian mengutarakan diperlukan elite ahli untuk bisa mengcounter atau meminimalisir kelemahan opini publik ini.

Saya menyimpulkan bahwa elite ahli ini tentu orang yang paham dan memiliki rekam jejak yang jelas. Kalau pengetahuan sepak bola, misalnya ya wartawan sepak bola, pelatih sepak bola, mantan pemain sepak bola. Mereka adalah elite ahli yang bisa memberikan garis yang tegas dan jelas soal sepak bola.

Sementara itu, Harold D Lasswell punya pendapat beda dengan Lippman. Lasswell mengatakan kelemahan opini publik diselesaikan bukan melalui elite ahli, tapi melalui pencerahan publik. Publik dicerahkan agar mereka bisa membuat opini yang tak lemah. Membuat opini yang jelas dasarnya.

Oiya, Lasswell itu dikenal dengan definisinya soal politik, yakni siapa mendapatkan apa, kapan, dan caranya bagaimana.

Sudah sampai di situ saja. Yang kemudian saya lihat saat ini, opini publik itu menjamur luar biasa di dunia maya. Tidak sedikit opini publik di dunia maya yang bermasalah. Saya pernah coba masuk di ruang itu untuk mengemukakan pendapat, tapi malah diserang dengan "stigma". Saat itu saya merasa ada beberapa diskusi yang tak sehat. Menyerang lalu ketika saya jawab, mereka menghilang.

Mereka (tentu tidak semua netizen), hilang pelan pelan pada diskusi yang mereka mulai sendiri. Bagaimana ceritanya, ketika ruang maya itu oleh sebagian pihak menjadi tempat untuk menjatuhkan saja. Tak ada argumentasi. Ya, karena tidak semua orang yang main di dunia maya itu paham atas apa yang mereka katakan.

Ada juga yang bangga dengan apa yang mereka katakan, tapi menutup diri dengan akun anonim.

Lalu apa hubungannya dengan Dewa Kipas? Tentu saja tak ada hubungannya kalau dengan Dewa Kipas atau Pak Dadang. Yang berhubungan adalah terkait fenomena Dewa Kipas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun