Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Gondrong Melawan Stigma Gondrong

23 Januari 2021   10:46 Diperbarui: 23 Januari 2021   10:51 1397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. foto g-stockstudio dipublikasikan kompas.com

Tulisan ini muncul setelah membaca cuitan Khazanah GNH, yang menuliskan soal siswi non muslim dipaksa pakai jilbab. Tapi, cuitan tersebut juga memunculkan soal pemaksaan tak boleh gondrong. Bahkan siswa yang gondrong kena hukuman. 

Khazanah GNH (Gus Nadir Hosen), memang sedang bercanda serius sebenarnya. Setidaknya itu yang saya tangkap. Sedang bercanda serius soal gondrong. Bercanda karena cuitan itu sepertinya menyasar Kang Maman, wartawan senior yang tak berambut itu. Serius karena kita kadang memang tak memikirkan soal pemaksaan tak gondrong.

Saya cukupkan di situ saja soal cuitan Khazanah GNH. Yang ingin saya tuliskan, setelah membaca cuitan itu, plus komentar dari Dalang Sujiwo Tedjo, ingatan saya langsung terlempar jauh ke belakang. Ingatan soal sekolah yang melarang siswanya gondrong.

Satu ketika di masa lalu, ada guru di sekolah saya yang khusus melakukan operasi rambut. Definisi rambut gondrong itu bukan hanya gondrong sebahu. Tapi, rambut yang panjang sedikit, yang rambutnya menutupi sebagian telinga, itu dimaknai gondrong.

Teman-teman saya yang dinilai gondrong itu (walaupun tidak bisa dikatakan mutlak gondrong, cuma memang belum cukur), langsung dipanggil sang guru. Di depan perpusatakaan dan dilihat banyak siswa yang lain, rambut teman-teman saya itu dipangkas. Tapi tak sampai digunduli. Rambut dipangkas sekenanya sama gurunya.

Tahu sendiri bukan tukang cukur rambut, malah nyukur rambut. Akhirnya hasil potongan rambut itu acak-acakan. Kacau lah. Itu sama saja ahli ilmu alam ngomong masalah sosial. Bisa berbahaya.

Saya tak pernah paham mengapa siswa di masa lalu tak boleh gondrong. Namun, yang saya ingat bahwa gondrong itu cenderung urakan, tak disiplin, dan segala stigma lainnya.

Jadi kalau ada siswa gondrong, berarti siswa itu dimaknai urakan, tak disiplin, dan segala stigma buruk lainnya. Cuma saya juga bingung kala itu. Sebab di dunia kampus, malah banyak mahasiswa yang gondrong. Jangankan mahasiswa, dosennya saja ada yang gondrong? Lalu gondrong itu lekat dengan stigma negatif?

Gondrong sebenarnya adalah netral. Tapi, gondrong oleh sebagian pihak sudah telanjur dipandang miring. Maka, setidaknya dalam pandangan saya, sebenarnya ada tugas berat bagi orang-orang yang gondrong. Tugasnya adalah mengembalikan gondrong sebagai hal yang netral.

Bagaimana caranya? Caranya, gondrong tapi disiplin. Gondrong tapi tak melanggar hukum. Gondrong tapi tak merusak. Jika banyak orang gondrong melakukan perlawanan gigih, maka stigma buruk gondrong akan pudar. Sebab, jika melihat orang gondrong, ternyata justru orangnya disiplin dan tepat waktu, tidak ingkar janji. Melihat orang gondrong, justru tidak merusak.

Jika tak bisa mengubah stigma gondrong secara umum, setidaknya kau telah menjelaskan bahwa gondrong itu tak memiliki korelasi dengan perilaku buruk. Kau telah menjelaskan bahwa ada orang gondrong yang benar. Jadi tidak dipukul rata. Saya sih pandangannya seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun