Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Marak Calon Tunggal di Pilkada, Tanggung Jawab Siapa?

16 September 2020   15:38 Diperbarui: 16 September 2020   15:35 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. foto kompas/priyombodo dipublikasikan kompas.com

Calon tunggal di pilkada serentak 2020 marak. Seperti dibeberkan KPU yang dikutip Kompas.com, ada 25 daerah yang memiliki calon tunggal. Jumlah itu membengkak daripada pilkada serentak sebelumnya.

Pada 2015, tercatat hanya ada tiga daerah yang memiliki calon tunggal. Pada pilkada serentak 2017, ada sembilan daerah yang memiliki calon tunggal. Pilkada serentak 2018 ada 16 calon tunggal.

Padahal, wajarnya sebuah kompetisi, maka harus ada lebih dari satu kontestan. Kalau kompetisi hanya ada satu kontestan, bagaimana dong? Pertanyaan kemudian adalah mengapa banyak muncul calon tunggal dalam pilkada.

Ada banyak dugaan yang bisa dilayangkan mengapa banyak muncul calon tunggal. Pertama adalah parpol yang enggan bertarung melawan calon kuat. Hal itu bisa saja terjadi. Misalnya di daerah X partai A yang kuat dan memiliki calon yang kuat. Maka, partai lain pun pikir-pikir untuk melawan. Apalagi jika melawan tanpa ada keuntungan sama sekali alias melawan untuk kalah.

Mungkin saja jika seperti itu, parpol akan memilih bergabung dengan calon yang kuat. Kedua, adalah syarat dukungan parpol yang dinilai tinggi. Syarat dukungan parpol adalah punya 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara di pemilu terakhir.

Syarat dukungan itu menjadi sulit kalau misalnya satu daerah "dikuasai" satu parpol alias kursi parpol di DPRD sangat mayoritas. Imbasnya, partai lain hanya memiliki kursi sedikit dan harus koalisi dengan partai lainnya. Koalisi pun bukan perkara gampang, karena harus ada hitung-hitungan politik. Nah, syarat dukungan itu menjadi agak repot untuk daerah yang "dikuasai" satu parpol.

Syarat calon independen yang tak mudah. Calon independen harus mengumpulkan dukungan antara 6,5 persen sampai 10 persen pemilih. Yang agak sulit adalah bahwa dukungan itu tersebar di 50 persen wilayah daerah. Misalnya, jika maju Pilkada Provinsi maka dukungannya tersebar di 50 persen kabupaten atau kota di provinsi tersebut. Jika maju di Pilkada Kabupaten atau Kota, maka dukungannya tersebar di 50 persen kecamatan di kabupaten atau kota tersebut.

Hal lain yang mungkin bisa memunculkan calon tunggal adalah biaya pilkada yang besar. Bupati Jember pernah berujar bahwa untuk maju pilkada membutuhkan dana miliaran rupiah. Dana seperti itu tentu hanya dimiliki mereka yang kaya atau yang punya sponsor. Calon yang potensial tapi tak punya dana dan sponsor akan sulit ikut pilkada.

Tanggung Jawab Siapa?

Adanya calon tunggal hanya akan membuat calon melawan kotak kosong. Yang pasti kalau melawan kotak kosong, menang pun biasa saja. Namun, jika kalah dengan kotak kosong, hanya akan membengkakkan biaya. Sebab, di kemudian waktu akan kembali dilaksanakan pilkada untuk mengisi kekosongan kepala daerah itu.

Maka, calon tunggal tentu bukan hal yang diinginkan dalam sebuah kompetisi. Kompetisi tak menarik jika hanya ada calon tunggal. Lalu, siapa yang bertanggung jawab jika pilkada hanya ada calon tunggal? Jika bicara tanggung jawab, maka ini tanggung jawab semua elemen. Namun, jika bicara siapa yang paling tanggung jawab, maka jawabannya tentu saja parpol. Parpol adalah kawah candradimuka calon pemimpin politik. Pengaderan parpol harus maksimal sehingga ketika ada kontestasi pilkada, ada calon yang bisa diajukan.

Harusnya malu ketika ada pilkada, parpol tak memiliki kader yang diajukan ke pilkada. Ini kan ibaratnya, mau main kompetisi sepak bola ada klubnya, tapi tak punya pemain. Bayangkan betapa malunya pendukung klub jika klub itu gagal kompetisi karena tak memiliki pemain. Klub itu hanya punya pengurus dan pelatih, tapi tak memiliki pemain.

Selain itu, parpol juga harus tanggung jawab yakni dengan ikut menjadi peserta dalam pilkada, asal punya kursi. Jangan sampai punya kursi di DPRD, tapi tak mendukung atau mengusung calon di pilkada. Parpol pemilik kursi harus diwajibkan mendukung calon.

Kalau parpol boleh tak mengusung calon, khawatirnya calon tunggal akan makin marak. Sebab, parpol yang sudah merasa kalah sebelum tanding, mending tak ikut cawe-cawe di kontestasi. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun