Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kala Tua, Kesunyian Itu Merambat Tak Terbendung

21 Juni 2020   09:00 Diperbarui: 21 Juni 2020   09:05 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto hanya ilustrasi. Sutterstock dipublikasikan Kompas.com

Semoga kita semua diberkahi kesehatan. Itu doaku. Doa yang dirapal ketika belakangan ini, mungkin 10 tahun belakangan, aku diperlihatkan tentang kesulitan-kesulitan orang-orang tua. Kesulitan tentang kesehatan.

Kisaran delapan tahun lalu, aku pernah berada di rumah sakit, menjaga ibu. Aku diperlihatkan beberapa orang tua yang kepayahan. Saat aku keluar ruangan, ngobrollah aku dengan penunggu lainnya. Seorang lelaki yang sepertinya lebih muda dariku, lebih berotot, dan lebih legam.

Dia seorang nelayan yang sedang "libur" karena ombak besar. "Tak ada yang berani melaut kalau musim kayak gini," katanya. Ya tentu saja karena tak melaut, duit jadi pas-pasan.

"Tapi, kalau ibu terkena apa-apa, maka apapun akan kulakukan," ujarnya. Ibu lelaki itu terbaring sakit, tak jauh dari ibuku. Dia bercerita bagaimana ibunya dibawa dari satu tempat penyembuhan ke tempat penyembuhan lain dengan posisi terus berbaring.

Lelaki itu memang tak terlihat bohong. Raut mukanya terlihat bagaimana sedih dan setianya dia menjaga sang ibu. Ya seperti biasa juga, kalau orang Pantura bisa mengaji. Malam hari dia menderas pelan ayat Alquran. Sendu sekali, di samping sang ibu yang tak bisa bergerak.

Pernah terlintas di pikiranku. Apa yang terjadi di pikiran orang tua yang sakit parah seperti itu. Hidup tapi tak bisa apa-apa. Dan... momen seperti itu tak kulihat sekali, tapi berkali-kali.

Desember beberapa tahun lalu, aku menunggu mertua yang terbaring di rumah sakit. Di ruang sebelahnya aku melihat orangtua yang sudah tak bisa apa-apa. Dia hanya terbaring dengan selang nutrisi.

Sang istri pun sempat ngobrol denganku. Mereka Nasrani. "Ya saya harus melewati Natal dengan seperti ini, dengan kondisi bapak (suaminya) seperti itu," katanya. Aku hanya terdiam tak bisa bilang apa-apa. Sedih memang.

Kisaran empat sampai lima tahun lampau, salah satu ritualku adalah mendatangi orang-orang yang sudah tua yang masih ada hubungan keluarga denganku. Mereka yang sudah sakit tak bisa apa-apa. Ada yang hanya terbaring, ada yang masih bisa ngobrol tapi sudah tak bisa jalan, ada yang masih bisa jalan tapi sudah tak bisa ngobrol.

Sebagian yang masih bisa ngobrol, dengan terbata-bata menginginkan segera sehat dan bisa kembali lagi berjemaah di musala. Ada yang sangat ingin kembali berazan, tapi sudah tak bisa karena kesehatan.

Ada yang tiap pagi sampai siang jelang sore hanya mendengar radio sembari berbaring, tak ada yang menunggui. Tak ada anak-anak di samping, istri keluar rumah banting tulang mencari nafkah. Sepi yang merambat tak keruan. Masa-masa tua yang menyedihkan. Dan kemudian, satu per satu mereka yang sering aku sambangi itu, berpulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun