Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sindiran soal Nikah dan Momongan Bisa Jadi Teror Psikologis

5 Juni 2020   10:59 Diperbarui: 6 Juni 2020   12:47 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyindir orang yang belum menikah dan memiliki tanpa disadari bisa memengaruhi psikologisnya | Ilustrasi Shutterstock dipublikasikan Kompas.com

Saya menulis ini setelah membaca tulisan Kompasianer Mba Syarifah Lestari yang berjudul "Tiap Rumah Punya Air Mata Sendiri". Saya ingin menulis saja terkait sindiran anggota masyarakat soal nikah dan momongan. 

Sindiran ini tentu dialami oleh mereka yang belum menikah atau sudah menikah tapi belum punya momongan.

Sebelum sampai ke pembahasan, saya ingin menjelaskan bahwa saya merasa tak pernah mengalami teror itu. Saat belum menikah di usia 28 tahun pun, saya tak merasakan teror itu. 

Mungkin karena saya terlampau cuek atau karena saya di masa muda lebih sering keluyuran. Sehingga, tak ada ruang bagi sindiran-sindiran itu masuk ke memori saya.

Jadi saya menulis berdasarkan perasaan orang lain yang pernah diteror dua hal itu. Perasaan-perasaan orang lain itu masuk ke telinga saya secara langsung atau melalui perantara. Jadi, mereka merasa diteror secara psikologis ketika sindiran bergelombang menyambar.

Nikah
Saya meyakini bahwa nikah itu adalah momen yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Tak ada rumus pasti bahwa jika kau sangat supel, maka jodohmu akan cepat mendekat. Tak ada rumus pasti bahwa jika kau pemalu dan pendiam, jodohmu akan lambat mendekat.

Saya punya teman laki-laki yang cukup pemalu dan pendiam. Dua hal itu malah telah ikut membantu dia gagal di dunia pendidikan. Dulu saya dan kawan lainnya mencoba membuat skenario agar dia lebih berani supaya tak lagi jadi pemalu dan pendiam. Tapi gagal!

Saya sempat berpikir, bagaimana bisa dia mendapatkan jodoh jika seperti itu. Ngobrol dengan wanita pun jarang. Tapi, ternyata dia lebih dahulu menikah daripada teman-temannya yang tak pemalu.

Sebaliknya, ada teman laki-laki yang supel. Penampakannya juga menarik, cukup pandai juga. Dengan wanita bisa berkomunikasi dengan baik. Tapi, sampai usia tertentu yang sudah dikatakan cukup umur, belum juga menemukan jodohnya.

Saya tak hanya punya dua cerita itu. Ada beberapa cerita lainnya yang mirip, cerita dari teman-teman wanita. Jadi jodoh itu benar-benar rahasia Tuhan. Tidak bisa dipastikan. Tapi di sisi lain, saya menilai bahwa usaha menuju pernikahan itu juga penting. 

Usaha adalah untuk memantaskan diri sebagai manusia. Pantasnya manusia ya usaha.

Semakin giat usaha, maka potensi berhasil akan makin besar. Tapi, jika sudah usaha keras tetap saja gagal, ya tak apa apa. Saya saja pernah merasa sudah usaha maksimal tetap gagal. Ya biasa saja. Walau perih, ya dijalani saja. Hidup memang begitu bos....

Nah, sudah usaha dan belum juga mendapatkan jodoh, maka sabar saja. Di saat itulah problem muncul. Problem dari orang lain yang memberi sematan tak enak bagi mereka yang sudah cukup umur tapi belum menikah. Ada yang bilang, "tak laku", ada yang bilang "kualat", ada yang bilang... dan lainnya.

Bagi sebagian orang yang cuek, sematan negatif itu tak masalah. Namun, tidak semua orang bisa cuek. Tiap orang memiliki karakter yang berbeda karena sejarah yang berbeda. Mereka yang dibangun dari sejarah yang sensitif, tentu tidak mudah cuek.

Problemnya makin parah ketika orang yang sensitif yang belum menikah, dihujani sematan buruk. Bisa jadi dia akan makin terpuruk. Makin menyalahkan keluarganya, makin menyalahkan diri sendiri, dan menyalahkan Tuhan. 

Kalau sudah begitu sudah bahaya. Dia akan makin depresi dengan serangan psikologis dari orang lain itu.

Maka, menyindir orang yang belum nikah itu tak perlu. Sekalipun kadang sindiran itu berniat hanya bercanda. Sebab, kita tak pernah tahu hati orang ketika disindir. Lebih baik membantu secara wajar jika dibutuhkan atau mendoakan yang terbaik.

Momongan
Soal pasangan yang belum punya momongan juga bisa menjadi sansak bagi orang-orang yang suka menyindir. Serangannya pun telak dengan diksi yang saya pikir tak pantas saya tulis di sini. Intinya adalah bahwa jika ada pasangan yang belum punya momongan, maka pasangan itu bermasalah.

Orang yang belum punya momongan dilabeli dengan kata-kata buruk. Sekali lagi, jika pasangan itu cukup cuek, maka tak masalah. Namun, jika salah satu saja pasangan itu terus diteror dengan sindirkan, bisa goyah juga. Apalagi yang menyindir misalnya adalah anggota keluarga sendiri.

Kalau di antara pasangan itu tak kuat, maka bisa koyak juga ketenteraman rumah tangga. Saya pernah mendengar sendiri ketika ada salah satunya menyalahkan pasangannya karena belum diberi momongan. Ini kan jadi tak sehat. Tak sehat karena dipicu sindiran-sindiran yang tak menyenangkan itu.

Jika tak tahan dengan teror itu, maka secara psikologis bisa bermasalah. Khususnya mereka yang tak tahan dengan sindiran tersebut. Ketika tak tahan, jadi serampangan bertindak dan bisa membahayakan.  

Maka, sebenarnya sudah tak pantas kita masuk ke ranah privat orang lain. Memberi label buruk pada mereka yang ingin sesuatu tapi belum diberi. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun