Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada di Masa Pandemi, "Kerugian" bagi Newcomer

29 Mei 2020   08:00 Diperbarui: 31 Mei 2020   06:00 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pilkada di masa pandemi menyulitkan kepala daerah untuk bersosialisasi. Kerugian untuk para pendatang baru, penantang petahana. (ANTARA FOTO/IRFAN ANSHORI via KOMPAS.com)

Pemerintah, DPR, dan KPU sudah memutuskan Pilkada Serentak pada beberapa daerah di Indonesia dilaksanakan 9 Desember 2020. Ketua KPU Arief Budiman pun mengatakan bahwa Pilkada 9 Desember 2020 tak akan diundur lagi.

Kebijakan itu akan membuat tahapan Pilkada dimulai pada awal Juni 2020 atau beberapa hari lagi. Nah, salah satu yang menjadi kekhawatiran banyak pihak soal Pilkada kali ini karena kemungkinan berbarengan dengan masih adanya Covid-19.

Tentu bisa saja Covid-19 tuntas sesegera mungkin. Sehingga, pada Desember 2020 sudak tak ada lagi pandemi Covid-19. Jika pandemi cepat tuntas, Pilkada tak akan memiliki masalah dengan faktor kesehatan masyarakat.

Namun, bisa saja pandemi belum tuntas sehingga saat Pilkada juga berbarengan dengan pandemi. Kekhawatirannya adalah bahwa Pilkada identik dengan keramaian. Keramaian itulah yang berpotensi membuat Covid-19 mewabah.

Apalagi, jika melihat fakta akhir-akhir ini, masyarakat ada yang cuek saja dengan keramaian sekalipun di masa pandemi. Selain itu, ketika tahapan dan hari-H beriringan dengan pandemi, maka bisa menghambat akselerasi pelaksanaan Pilkada.

Jika pandemi masih ada dan Pilkada dilaksanakan, kira-kira bagaimana gambarannya? Pertama, tentu KPU dan Panwaslu di daerah yang menjadi pelaksana Pilkada harus kerja ekstra keras. Penyelenggara Pilkada harus bisa menyosialisasikan hal-hal penting dalam Pilkada di tengah pandemi.

Hal yang penting itu di antaranya kesediaan logistik, bakal calon dan nantinya menjadi calon, pelaksanaan pencoblosan di hari-H. Bagaimana jika kerumunan dibatasi? Maka, penyelenggara Pilkada harus bisa memaksimalkan dunia maya.

Tapi, persoalan tentu tak sesederhana memanfaatkan dunia maya. Harus diakui tidak semua warga pengguna jaringan internet. Ada mereka yang memang tak menggunakan jaringan internet karena tak fasih. Biasanya mereka yang tak fasih menggunakan internet adalah orangtua berusia 60 tahun ke atas.

Ada juga yang kesulitan karena faktor sinyal. Karena kondisi geografis, maka teknologi informasi tak bisa maksimal digunakan.

Lalu bagaimana penyelenggara Pilkada melakukan sosialisasi jika kerumunan dibatasi? Ya memakai media konvensional seperti selebaran atau bisa juga melakukan pertemuan dengan batasan-batasan protokol kesehatan.

Itu kendala yang dihadapi penyelenggara Pilkada. Bagaimana dengan calon? Ini tentu akan makin sulit juga. Calon biasanya mengandalkan sosialisasi melalui kampanye terbuka. Atau mereka rajin mengunjungi calon pemilih untuk memperkenalkan diri.

Jika situasi masih pandemi, para calon harus berpikir ulang untuk sosialisasi atau kampanye tatap muka. Bisa-bisa karena khawatir di masa pandemi, warga menolak kedatangan calon dan simpatisannya.

Maka, cara-cara penggunaan teknologi bakal masif digunakan. Namun, persoalannya sama dengan analisis di atas. Bahwa tak semua warga akrab dengan dunia maya, baik karena faktor diri sendiri atau faktor lingkungan.

Dengan kondisi seperti ini, maka calon akan mengalami kendala sosialisasi dan kampanye. Nah, ketika ada kendala sosialisasi dan kampanye bagi calon, maka calon kepala daerah newcomer atau pendatang baru di kontestasi politik dan Pilkada akan berpotensi mengalami kerugian.

Kerugian karena newcomer akan mengalami kendala ketika harus sosialisasi dan berkampanye, padahal itu momen mereka memperkenalkan visi dan misi di hadapan warga. Mereka harus bekerja lebih keras lagi untuk sosialisasi ke calon pemilih.

Jika tak mampu bekerja super maksimal, jangankan dipilih, dikenal pun sulit bagi calon kepala daerah newcomer. Dengan potensi kesulitan para newcomer itu, maka Pilkada kali ini sepertinya akan diwarnai oleh tokoh lama atau orang yang memang sudah punya nama.

Para calon newcomer pun sepertinya harus berhitung jika maju pada Pilkada kali ini. Ngapain mereka ngotot maju jika potensi kekalahannya lebih besar karena faktor pandemi yang menyulitkan sosialisasi.

Lebih baik para newcomer menyiapkan diri lebih baik untuk lima tahun yang aka datang. Ketika lima tahun akan datang dengan kondisi sudah normal, maka potensi newcomer menjadi kuda hitam akan makin besar. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun