Jika situasi masih pandemi, para calon harus berpikir ulang untuk sosialisasi atau kampanye tatap muka. Bisa-bisa karena khawatir di masa pandemi, warga menolak kedatangan calon dan simpatisannya.
Maka, cara-cara penggunaan teknologi bakal masif digunakan. Namun, persoalannya sama dengan analisis di atas. Bahwa tak semua warga akrab dengan dunia maya, baik karena faktor diri sendiri atau faktor lingkungan.
Dengan kondisi seperti ini, maka calon akan mengalami kendala sosialisasi dan kampanye. Nah, ketika ada kendala sosialisasi dan kampanye bagi calon, maka calon kepala daerah newcomer atau pendatang baru di kontestasi politik dan Pilkada akan berpotensi mengalami kerugian.
Kerugian karena newcomer akan mengalami kendala ketika harus sosialisasi dan berkampanye, padahal itu momen mereka memperkenalkan visi dan misi di hadapan warga. Mereka harus bekerja lebih keras lagi untuk sosialisasi ke calon pemilih.
Jika tak mampu bekerja super maksimal, jangankan dipilih, dikenal pun sulit bagi calon kepala daerah newcomer. Dengan potensi kesulitan para newcomer itu, maka Pilkada kali ini sepertinya akan diwarnai oleh tokoh lama atau orang yang memang sudah punya nama.
Para calon newcomer pun sepertinya harus berhitung jika maju pada Pilkada kali ini. Ngapain mereka ngotot maju jika potensi kekalahannya lebih besar karena faktor pandemi yang menyulitkan sosialisasi.
Lebih baik para newcomer menyiapkan diri lebih baik untuk lima tahun yang aka datang. Ketika lima tahun akan datang dengan kondisi sudah normal, maka potensi newcomer menjadi kuda hitam akan makin besar. (*)