Covid-19 telah mewabah sejak beberapa bulan lalu. Menyerang manusia hingga banyak yang meninggal dunia. Kemudian, sebagian dari kita menjadi tak bisa mendeteksi siapa sebenarnya musuh utama di wabah ini.
Sudah jelas bahwa musuh utama kita di masa kini adalah Covid-19. Untuk melawannya, banyak cara yang dilakukan. Ada negara yang memberlakukan lockdown, ada yang tidak. Kita melawan dengan jaga jarak dengan sesama, kita mencuci tangan, berdiam diri di rumah, dan masih banyak lagi.
Sekali lagi kita tahu bahwa musuh utama kita adalah COVID-19. Namun, perlawanan pada COVID-19 dan efek COVID-19 ternyata membuat sebagian kita salah mendeteksi musuh.
Saat Covid-19 menjadi ancaman, orang di negara lain ada yang malah melakukan diskriminasi. Yang menjadi musuh adalah mereka yang memiliki ciri fisik berbeda, bukan malah Covid-19. Mengutip tulisan Pak Tjiptadinata di Kompasiana, banyak komunitas keturunan Asia di Australia melaporkan serangan rasis terkait Covid-19.
Hal sebaliknya pun terjadi di Cina. Seperti dikutip dari abc.net.au, sejumlah warga asing di China mengaku mendapat perlakuan diskriminasi dan rasisme, setelah ditemukan banyak kasus virus corona di China berasal dari mereka yang datang dari luar negeri.
Di India beberapa pekan lalu ramai soal aksi pemukulan aparat pada warga sipil. Warga sipil dipukul dengan tongkat. Alasannya, warga sipil masih saja keluar rumah sekalipun negara dalam status lockdown. Bahkan, karena pemukulan itu, salah satu warga di India meninggal dunia.
Bayangkan saja, lockdown adalah usaha untuk melawan musuh nyata bernama Covid-19. Namun, di tengah lockdown, aparat India malah menilai musuh baru bagi warga yang tak patuh. Tentu saja di sisi lain, warga di India bisa saja menilai aparat sebagai musuh.
Kalau jenazah dijadikan musuh, lalu bagaimana jenazah itu akan melawan? Tentu secara nalar bukan sebuah pertarungan lagi, tapi benar-benar ketidakmampuan mendefinisikan musuh sebenarnya.
Ketika sebagian kita tak sadar bahwa mereka tak bisa mendeteksi musuh, maka harus ada langkah yang dilakukan. Semua pihak harus saling bahu-membahu menjelaskan siapa musuh kita saat ini.
Tentu saja, sekalipun semua wajib saling memberi tahu, tapi menurut saya garda terdepannya adalah pemerintah. Pemerintah jadi pihak terdepan untuk menyosialisasikan secara massif siapa musuh kita.
Sosialisasi menurut pandangan pribadi saya, ketika keadaan normal, bisa dilakukan dengan tiga cara. Ketiganya adalah sosialisasi tak tatap muka, sosialisasi tatap muka formal, dan sosialisasi tatap muka tak formal.
Sosialisasi tak tatap muka adalah melalui selebaran, poster, media sosial, pesan singkat di telepon genggam, dan sejenisnya. Sosialisasi tatap muka formal melalui rapat resmi seperti rapat tingkat pusat sampai tingkat RT. Sosialisasi tatap muka tak formal ya seperti tempat nongkrong, warung kopi, dan sejenisnya.
Di tengah situasi saat ini, praktis sosialisasi tak tatap muka yang bisa dimaksimalkan. Maka, area yang masih banyak orang (karena kebutuhan ekonomi warga) tepat untuk jadi ajang sosialisasi melalui poster dan sejenisnya. Di mana tempat yang masih ramai itu? Ya seperti pasar tradisional.
Desa juga bisa digerakkan untuk membuat poster penting di dekat pemakaman. Sebab, banyak pemakaman adalah tanah milik desa. Menurut saya itu penting sosialisasi melalui poster di area depan pemakaman yang menjelaskan apa syarat jenazah yang meninggal karena COVID-19 dimakamkan.
Kanal-kanal penting di dunia maya juga disasar untuk sosialisasi siapa musuh kita. Langkah-langkah itu bisa dilakukan untuk kembali mengingatkan bahwa musuh kita adalah COVID-19, bukan sesama warga.
Terakhir, tulisan ini adalah pendapat pribadi yang mungkin saja pihak lain berbeda pandangan. Beda pandangan itu adalah hal yang wajar di dunia ini. Semoga kita tetap sehat selalu, dilindungi Yang Maha Kuasa, dan tetap damai. (*)