Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Covid-19 Membuat Sebagian Kita Salah Mendeteksi Musuh

12 April 2020   07:46 Diperbarui: 15 April 2020   19:38 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga mengenakan masker saat deklarasi Bersama Lawan Corona (COVID-19) di Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (18/3/2020). (Foto: ANTARA/EKO LUKMANSYAH)

Covid-19 telah mewabah sejak beberapa bulan lalu. Menyerang manusia hingga banyak yang meninggal dunia. Kemudian, sebagian dari kita menjadi tak bisa mendeteksi siapa sebenarnya musuh utama di wabah ini.

Sudah jelas bahwa musuh utama kita di masa kini adalah Covid-19. Untuk melawannya, banyak cara yang dilakukan. Ada negara yang memberlakukan lockdown, ada yang tidak. Kita melawan dengan jaga jarak dengan sesama, kita mencuci tangan, berdiam diri di rumah, dan masih banyak lagi.

Sekali lagi kita tahu bahwa musuh utama kita adalah COVID-19. Namun, perlawanan pada COVID-19 dan efek COVID-19 ternyata membuat sebagian kita salah mendeteksi musuh.

Saat Covid-19 menjadi ancaman, orang di negara lain ada yang malah melakukan diskriminasi. Yang menjadi musuh adalah mereka yang memiliki ciri fisik berbeda, bukan malah Covid-19. Mengutip tulisan Pak Tjiptadinata di Kompasiana, banyak komunitas keturunan Asia di Australia melaporkan serangan rasis terkait Covid-19.

Hal sebaliknya pun terjadi di Cina. Seperti dikutip dari abc.net.au, sejumlah warga asing di China mengaku mendapat perlakuan diskriminasi dan rasisme, setelah ditemukan banyak kasus virus corona di China berasal dari mereka yang datang dari luar negeri.

Di India beberapa pekan lalu ramai soal aksi pemukulan aparat pada warga sipil. Warga sipil dipukul dengan tongkat. Alasannya, warga sipil masih saja keluar rumah sekalipun negara dalam status lockdown. Bahkan, karena pemukulan itu, salah satu warga di India meninggal dunia.

Bayangkan saja, lockdown adalah usaha untuk melawan musuh nyata bernama Covid-19. Namun, di tengah lockdown, aparat India malah menilai musuh baru bagi warga yang tak patuh. Tentu saja di sisi lain, warga di India bisa saja menilai aparat sebagai musuh.

Spanduk bertuliskan 'Selamat datang kembali Pak Wahib di lingkungan RT 47. Mari bersama melawan Covid-19' dipajang di pintu masuk Perumahan Sepinggan Pratama, Balikpapan saat menerima pasien sembuh positif corona, Kamis (9/4/2020). | Foto: istimewa dipublikasikan KOMPAS.com
Spanduk bertuliskan 'Selamat datang kembali Pak Wahib di lingkungan RT 47. Mari bersama melawan Covid-19' dipajang di pintu masuk Perumahan Sepinggan Pratama, Balikpapan saat menerima pasien sembuh positif corona, Kamis (9/4/2020). | Foto: istimewa dipublikasikan KOMPAS.com
Di Indonesia juga sama, bahkan lebih parah menurut saya. Lebih parah dalam kasus penolakan jenazah untuk dimakamkan karena meninggal sebab Covid-19. Bayangkan saja, jenazah yang sudah tak punya daya apa-apa dijadikan musuh.

Kalau jenazah dijadikan musuh, lalu bagaimana jenazah itu akan melawan? Tentu secara nalar bukan sebuah pertarungan lagi, tapi benar-benar ketidakmampuan mendefinisikan musuh sebenarnya.

Ketika sebagian kita tak sadar bahwa mereka tak bisa mendeteksi musuh, maka harus ada langkah yang dilakukan. Semua pihak harus saling bahu-membahu menjelaskan siapa musuh kita saat ini.

Tentu saja, sekalipun semua wajib saling memberi tahu, tapi menurut saya garda terdepannya adalah pemerintah. Pemerintah jadi pihak terdepan untuk menyosialisasikan secara massif siapa musuh kita.

Sosialisasi menurut pandangan pribadi saya, ketika keadaan normal, bisa dilakukan dengan tiga cara. Ketiganya adalah sosialisasi tak tatap muka, sosialisasi tatap muka formal, dan sosialisasi tatap muka tak formal.

Sosialisasi tak tatap muka adalah melalui selebaran, poster, media sosial, pesan singkat di telepon genggam, dan sejenisnya. Sosialisasi tatap muka formal melalui rapat resmi seperti rapat tingkat pusat sampai tingkat RT. Sosialisasi tatap muka tak formal ya seperti tempat nongkrong, warung kopi, dan sejenisnya.

Di tengah situasi saat ini, praktis sosialisasi tak tatap muka yang bisa dimaksimalkan. Maka, area yang masih banyak orang (karena kebutuhan ekonomi warga) tepat untuk jadi ajang sosialisasi melalui poster dan sejenisnya. Di mana tempat yang masih ramai itu? Ya seperti pasar tradisional.

Desa juga bisa digerakkan untuk membuat poster penting di dekat pemakaman. Sebab, banyak pemakaman adalah tanah milik desa. Menurut saya itu penting sosialisasi melalui poster di area depan pemakaman yang menjelaskan apa syarat jenazah yang meninggal karena COVID-19 dimakamkan.

Kanal-kanal penting di dunia maya juga disasar untuk sosialisasi siapa musuh kita. Langkah-langkah itu bisa dilakukan untuk kembali mengingatkan bahwa musuh kita adalah COVID-19, bukan sesama warga.

Terakhir, tulisan ini adalah pendapat pribadi yang mungkin saja pihak lain berbeda pandangan. Beda pandangan itu adalah hal yang wajar di dunia ini. Semoga kita tetap sehat selalu, dilindungi Yang Maha Kuasa, dan tetap damai. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun