Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendiam Itu Bukan Pendosa, Maka Jangan Distigma Buruk

9 April 2020   01:02 Diperbarui: 9 April 2020   01:03 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi, sumber shutterstock dipublikasikan kompas.com

Saya baru saja merenung. Mungkin ini terjadi di dunia nyata, tapi mungkin tidak persis seperti tulisan saya. Saya hanya merangkai-rangkai cerita yang saya temui dalam beberapa kesempatan di kehidupan saya.

Saya akan mulai dari cerita kelompok yang suka berbicara. Jika ada kelompok yang suka berbicara, biasanya memang sangat cair dan hangat. Hubungan antaranggota kelompok terjadi sangat mengalir karena mereka memang suka bicara.

Siapa yang masuk di situ memang harus menyesuaikan. Menyesuaikan untuk bisa asyik masuk bicara dan bicara. Nah, masalahnya adalah orang-orang yang memang punya tabiat pendiam.

Para pendiam ini akan sulit masuk dalam pusaran mereka yang suka bicara. Orang pendiam pun kadang distigma "ngga asyik". Diam itu kemudian malah seperti jadi pendosa yang harus dihindari. Apalagi sudah pendiam, pemalu pula. Kalau seperti itu wassalam. Akan sulit masuk dalam kelompok pengobrol.

Orang-orang pendiam (apalagi pemalu pula), biasanya secara alamiah menyingkir. Jika kelompok yang suka bicara mengadakan acara bermanfaat, maka si pendiam memilih pergi. Kasihan kan, ketika ada acara bermanfaat tapi pergi karena merasa "tak diterima".

Lebih runyam lagi jika banyak kelompok yang suka bicara tak memberi rangkulan pada yang pendiam. Atau misalnya lebih memilih mendekati maling yang supel daripada pendiam yang biasa saja. Di sinilah kemudian problem samping itu akan menggejala.

Apa problem sampingnya? Orang-orang pendiam (pemalu pula) butuh ruang berekspresi. Jika mereka tak mendapatkan di lingkungannya karena "tak diterima", maka akan mencari tempat lain.

Nah, di sinilah ruang-ruang setan muncul. Orang-orang bermasalah akan menggandeng yang pendiam ini. Digandeng untuk ikut bernarkoba. Digandeng untuk menjadi tukang teror. Digandeng untuk menjadi maling.

Orang-orang jahat itu lebih pandai memanfaatkan situasi. Mereka memanfaatkan para pencari ruang berekspresi, tak peduli pendiam atau supel. Asal mereka bisa dimanfaatkan, maka dekati dan kemudian racuni.

Coba cek saja, mereka yang pendiam itu memiliki energi luar biasa karena jarang dieksplore. Ketika mereka mendapatkan ruang untuk mengeksplore, maka mereka akan berapi-api.  Jika ruang eksplore itu ada di kelompok teror, mereka akan berjuang mati-matian melalui teror.

Jika pendiam ini memiliki ruang ekspresi di dunia maya. Maka, mereka akan mengeluarkan kata-kata kasar pada orang yang berseberangan dengan dirinya di dunia maya. Orang pendiam itu punya energi yang besar, maka jangan biarkan energi itu menjadi mesin bagi orang-orang jahat. Nah saya kemudian berpikir, jangan-jangan mereka yang pendiam itu masuk kelompok jahat juga karena kita-kita yang sering memojokkan mereka melalui kata atau gesture.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun