Mohon tunggu...
Ilham Alvainata
Ilham Alvainata Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Currently studying politics

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melihat Rasisme di Indonesia dalam Perspektif Orientalisme

26 April 2021   09:10 Diperbarui: 26 April 2021   09:21 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rasisme merupakan keyakinan bahwa kelompok ras mereka lebih unggul dibanding kelompok yang lain dan tindakan dalam bentuk-bentuk diskriminasi atas rasial, kesukuan, kebangsaan, warna kulit yang dilakukan oleh salah satu pihak pada pihak lainnya. Fenomena rasial tersebut mencederai kedamaian dan kerukunan yang telah diperjuangkan dan dirajut bersama. Di abad ke-21 perbuatan rasis masih terjadi di Indonesia, ironisnya banyak kasus yang terjadi pelakunya sesama warga negara indonesia terhadap Orang Papua.

Dalam menelaah fenomena yang terjadi, penulis mencoba melihat isu rasisme di Indonesia melalui perspektif orientalisme. Tentunya, perilaku rasis tersebut tidak lantas terjadi karena ada yang mencoba mengusik kedamaian bermasyarakat saja. Namun, jauh dibalik itu terdapat persoalan-persoalan kompleks yang terjadi di republik ini, secara struktural dan tidak langsung, merasa atau tidak, pemerintah yang berdaulat sendirilah pelaku yang telah memarjinalisasi daerah yang sampai demikian lama masih dianggap banyak orang terbelakang itu. Selama puluhan tahun, secara institusional, pemerintah pusat menampakkan sikap dingin dan kerasnya pada Provinsi Papua. Dapat dikatakan secara frontal, bahwa Papua seakan dibelenggu oleh tangan bangsa sendiri untuk lebih dijadikan sapi perah sebagai sumber daya pembangunan, dibanding provinsi dengan keistimewaan Tidak cukup sampai disitu, keadaan diperkeruh dengan pemberian stigma/stereotipe warga papua adalah orang orang yang kurang terpelajar, primitif, barbar, kasar, dan pandangan negatif lainnya masih sering terdengar di kalangan masyarakat kita.

Dalam aspek keberadilan saja, pemerintah pusat sebagai pemangku otoritas tertinggi di Indonesia masih jauh dari kata adil dalam memberlakukan sikap welas asihnya kepada seluruh bangsanya. Tanpa maksud mengerdilkan sepihak, penulis melihat hingga kini penegakan hukum dan HAM di Papua sendiri masih menuai polemik. Dewasa ini, kasus-kasus pelanggaran HAM yang menyangkut warga Papua terjadi begitu saja tanpa terungkap kejelasan dan keputusan pengadilan yang pasti.

Dalam diskursus rasisme terhadap Papua, sampai saat ini tidak sedikit Orang Indonesia memandang Orang Papua sebagai entitas hidup yang eksotis, terbelakang. terpencil, terasing, dan terpinggirkan. Narasi tersebut temyata tidak murni digaungkan warga di luar papua, jika menelusuri sejarah perkembangannya, akar masalah telah ditemukan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Sejak masa penjajahan, pemerintah kolonial Belanda merupakan pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas berbagai strategi politik yang digunakan untuk memecah belah keberlangsungan masyarakat, yang dulu hidup rukun berdampingan.

Dengan strategi busuk seperti halnya Devide et Impera, pengerahan misionaris orientalis untuk memecah tokoh-tokoh islam berpengaruh, hingga pemberlakuan klasifikasi kelas sosial yang terdiri atas bangsa Eropa yang berdiri paling atas, Timur jauh (Asia Timur) di bawahnya dan warga bumiputra/pribumi pada tempat yang paling bawah. Jelas hal ini memecah masyarakat yang bekerja dibawah pemerintahan kolonial sebagai kaki tangan penjajah yang pada perkembangannya menindas kaumnya sendiri. Secara ekstrim mereka menyekat golongan masyarakat, membuat batas yang jelas antara penguasa dan rakyat jelata, yang menindas dengan yang tertindas. Berbagai metode politik adu domba lainnya digunakan untuk mencapai dominasi dan meraup keuntungan atas eksploitasi di bumi nusantara.

Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis mencoba mengkaitkan dan merelevansikan hegemoni warga terjadi di satu kalangan masyarakat terhadap masyarakat lainnya, dalam kasus ini yang terjadi antara masyarakat Indonesia lainnya dengan masyarakat Papua yang masih terdapat sekat dengan tembok superioritas dan inferioritas melalui sudut pandang orientalisme.

Bagi orang barat, wilayah timur bukan sekedar kedekatan geografis, melainkan merupakan koloni Eropa yang terbesar, terkaya, dan tertua Pandangan orang barat terhadap bangsa timur digambarkan pada masa dimulainya orientalisme modern. Yaitu Timur didefinisikan dalam sudut pandang kolonialisme yang sangat memandang rendah kepada manusia Timur, seperti orang Timur dianggap irasional, bejat moral, kekanak-kanakan, dan "berbeda", sebaliknya orang Eropa adalah lebih rasional, berbudi luhur, dewasa, dan "normal" (Sakinah, 2014)

Menurut (Said, 2001), orientalisme adalah sebuah cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa. Said menegaskan bahwa orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang dibuat antara "Timur" sebagai (the orient) dan hampir selalu "Barat" sebagai (the occident)

Orientalisme mencoba menjawab sejumlah pertanyaan mengapa ketika kita berpikir tentang Timur Tengah, kita bisa memiliki praduga tentang orang-orang yang tinggal di sana, apa yang mereka yakini, dan bagaimana mereka berperilaku, bahkan jika kita belum pernah ke sana. Secara umum, orientalisme memunculkan pertanyaan: Bagaimana kita dapat memahami orang dengan warna kulit berbeda, sebagaimana orang asing?

Gagasan utama orientalisme adalah bahwa cara memperoleh pengetahuan ini bukan tanpa dosa atau tujuan, tetapi hasil akhir dari suatu proses yang mencerminkan kepentingan tertentu. Secara khusus Said berpendapat bahwa cara Barat, Eropa, dan AS memandang negara dan masyarakat di Timur Tengah melalui lensa yang mendistorsi realitas aktual dari tempat-tempat dan orang-orang itu

Polemik ini dapat dilihat menggunakan sudut pandang orientalisme dari Edward Said, seorang pemikir politik asal Amerika Serikat yang dengan lantang membela Palestina dalam konflik Palestina-Israel. Melalui karva dan pemikirannya Said mengatakan bahwa konflik tersebut tidak dapat terlepas dari pandangan dunia barat (Eropa & Amerika) terhadap dunia timur (Asia & Afrika)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun