Mohon tunggu...
Ilham Marasabessy
Ilham Marasabessy Mohon Tunggu... Dosen/Peneliti

Belajar dari fenomena alam, membawa kita lebih dewasa memahami pencipta dan ciptaannya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gesekan Kepentingan di Wilayah Pesisir, Maju atau Mundur?

24 Maret 2025   22:26 Diperbarui: 23 April 2025   10:29 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesisir Teluk Ambon Dalam, merupakan kawasan pesisir yang rentan dengan perubahan sistem ekologi dan sosial  (Sumber: Koleksi foto pribadi 2023)

Sejak awal, sejarah telah mencatat bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan paling diminati, sangat penting untuk ditempati dan harus dikuasai. Ada anggapan bahwa penaklukan kawasan pesisir menjadi awal kemenangan besar untuk menguasai suatu wilayah secara defacto. Hal ini tidak lepas dari letaknya yang strategis untuk kepentingan politik dan ekonomi. Harus diakui bahwa situasi ini telah berlangsung lama dan mirisnya, disaat bersamaan mereka mengabaikan kepentingan ekologis dan sosial yang sejatinya merupakan dimensi substansial dari perkembangan kawasan tersebut.

Di Indonesia situasi ini pernah dialami, doktrin perang (war doctrine) untuk merebut wilayah pesisir harus menjadi target utama yang dikuasai, telah ada sejak zaman kerajaan Pra Nusantara, Nusantara Awal sampai Kolonial, melalui upaya penguasaan pelabuhan kapal, pengendalian alur lintas kapal, monopoli sumberdaya alam dan intimidasi sosial masyarakat lokal. Kawasan pesisir menjadi tempat paling ideal untuk mengembangkan kekuasaan yang lebih luas. Tidak mengherankan banyak jejak peradaban tua, bangunan, material dan benteng pertahanan yang ditemukan pada kawasan pesisir.

 Secara global, dunia telah mengakui bahwa Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar dengan garis pantai yang panjang. Memiliki batas wilayah pengelolaan laut yang luas; mulai dari laut/perairan pedalaman atau penghubung antar pulau, territorial sampai pada Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI), suka atau tidak suka hal ini membuat banyak Negara lain cemburu. Sampai pada tahapan ini, keyakinan rakyat Indonesia sudah memahami bahwa bangsa dan negara melalui alat dan aparaturnya telah menyadari dan tentu sudah memiliki strategi untuk mewaspadai ancaman itu.

Dalam percaturan politik dunia non konvensional, penguasaan pada suatu Negara tidak hanya melalui infiltrasi pasukan perang untuk melakukan konfrontasi bersenjata, bukan juga sebatas perang proksi (proxy war) tetapi telah bermetamorfosis dengan desain perang lunak (soft war) melalui penguasaan ekonomi dan propaganda ideologi dari bermacam-macam aliran dengan tujuan untuk membuat degradasi moral, etika dan intimidasi kearifan lokal yang telah mengakar kuat dalam relung kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga semua norma dan aturan yang arif pada masyarakat lokal harus dijauhkan, dibenturkan sedemikian rupa dengan berbagai alasan seperti; ketinggalan zaman, kuno, melanggar aturan agama dan tidak relevan dengan modernisasi sehingga harus dilupakan.

Harus disadari bersama bahwa, apa yang sekarang kita ketahui sebagai awal peradaban manusia di Indonesia yang ditemukan pada goa atau liang batu, gunung, bukit dan hutan pedalaman saat ini, sejatinya dahulu merupakan peradaban yang berkembang pada wilayah pesisir atau paling tidak, ada di batas wilayah perairan darat yang terkoneksi secara langsung dengan wilayah pesisir. Hal ini mengkonfirmasi bahwa wilayah perairan sungai sampai ke pesisir merupakan lokasi hunian terbaik untuk perkembangan peradaban manusia. Bonus geografis, fisiografi dan demografis Indonesia, memberikan keuntungan yang luas kerena kondisi ini mampu meningkatkan pertumbuhan keanekaragaman hayati dan non hayati di alam Indonesia sehingga menjadi incaran dan rebutan banyak Negara.

Aktivitas di lahan atas berdampak pada perubahan sistem ekologi wilayah pesisir dan laut (Sumber: Koleksi foto pribadi; 2024))
Aktivitas di lahan atas berdampak pada perubahan sistem ekologi wilayah pesisir dan laut (Sumber: Koleksi foto pribadi; 2024))

Upaya penaklukan suatu Negara melalui desain perang lunak (soft war) dengan karakteristik wilayah kepulauan seperti Indonesia, sangat ideal dilakukan melalui pintu masuk yaitu menguasai wilayah pesisir. Tidak mengherankan, saat ini wilayah pesisir dengan keanekaragaman ekologis dan sosial yang tinggi, perlahan hilang melalui penguasaan lahan pemanfaatan yang diperoleh secara legal maupun illegal, diberikan secara normal ataupun abnormal, kepada oligarki yang dalam kenyataannya hanya mengejar kepentingan profit memperoleh keuntungan ekonomi yang besar walaupun tidak jarang di packaging dengan istilah pembangunan berkelanjutan.

Dimasa mendatang wilayah pesisir masih tetap menjadi kawasan primadona bagi banyak kepentingan yang bermain untuk memenuhi hasrat kepuasaan kelompok tertentu, walaupun status kepemilikan wilayah ini sejatinya berada pada hak masyarakat lokal yang dipercayakan pada pemerintah Desa, diawasi oleh Pemerintah Daerah dan diatur oleh Pemerintah. Minimal hal ini tercermin melalui Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dan dapat kita temui pada konsep Tragedy of the Commons (Hardin, 1968); Commons resources (Ostrom, 2009).

Perlu diingat bahwa wilayah pesisir selalu berafiliasi dengan wilayah laut, bagaikan dua sisi mata uang, sehingga lebih familiar dengan sebutan pesisir dan laut. Jika meminjam istilah dari berbagai literatur, menjelaskan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), dan batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah provinsi atau state di suatu Negara.

Dalam implementasi pengelolaan dan pemanfaatan kawasan ini, seharusnya perlu memperhitungkan dampak aktivitas dari daratan dan lautan sebagai satu kesatuan yang saling terintegrasi. Sistem ekologi maupun sosial menjadi bagian penting dalam upaya pengembangan kawasan pesisir secara berkelanjutan. Namun sungguh ironis permasalahan penguasaan lahan pada pihak tertentu melalui pemasangan pagar laut di Kabupaten Tangerang Banten sejauh 30,16 kilometer dan kemudian di kavling per petak pada setiap lahan, bahkan telah tersertifikasi Hak Guna Bangunan (HGB) dengan luas total 537.5 hektar, dengan asumsi beberapa kavling yang telah dipecah, tidak hanya dapat membangun perumahan tetapi bisa digunakan untuk membangun Kota Mandiri Baru (Elisa Sutanujaya). Kompas.com, Minggu (19/1/2025).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun