Mohon tunggu...
Ilenmakalangan CK
Ilenmakalangan CK Mohon Tunggu... profesional -

Master of Ceremonies

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teles Klebesing Ati

15 Januari 2012   01:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:53 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika hujan membasahi bumi, longsorkan tanah-tanah meninggi, tumbangkan pohon-pohon menjulang, lalu membanjiri perkotaan bahkan kampung terpencil. Tapi tidak bagimu, malah menguat tegak memenuhi ingatan dan dadaku. Duh, air langit ini deras menariku pada masa silam yang mendebarkan indah—bersamamu, kekasih.

Neng, lihatlah, betapa luas laut ini, membetang seolah tak berujung, seperti cinta kita. Jujur, sebenarnya aku tak percaya siang sejuk ini bias bersanding dengan wanita secantik kau. Kerudung biru mudamu terurai deras diterpa angin samudera, penuh pesona khas perawan. Bibir tipismu merekah berwarna pink tanpa gincu, lalu matamu sipit-sipit pantes merdu penuh cinta, aduhai keningmu mengkilat berhiasakan jerawat, nyempil satu saja, sekali lagi pantes. Kadang melihatmu mengundang syawat syetanku untuk meraih semua yang ada diragamu atas nama cinta.

Tapi tidak, takan pernah kulakukan. Sebab seperti yang kudakwahkan, bahwa cinta itu tidak pernah mengajarkan nikmatnya menodai, justru sebaliknya menjaga dan melindungi kesuciannya sampai batas waktu menghalalkan ‘kesaling—butuhan kita’.

Neng, sayang. Lihatlah. Keserasihan alam menampakan keindahannya—mereka menemukan pasangan atas titah cinta dariNya. Dan kurasa benih cinta yang tertanam didada kita tidaklah menclok begitu saja tanpa campur tangan KekuasaanNya. Oh, kau tersenyum mendengar penjelasanku—tanda setuju.

Aku menghela nafas, karna tiba-tiba saja hujan berhenti dan matahari menyadarkanku melalui sela-sela jendela kamarku. Bahwa kau bukan milikku lagi, kau sudah menjadi istri temanku. Ya, temanku yang penjahat dan sepertinya tak berhati nurani. Betapa tidak, ia telah merebut kebahagiaanku bersamanya. Betapa tidak, keterbuka—jujuranku menjadi senjata untuk mematahkan cintanya padaku. Tak tahu malu, kau, ya kau. Tidak sadarkah perlaku—rampasan yang kau lakukan sama artinya menistakan arti persahabatan, meremehkan aku. Dan tahukah kau telah mengajarkanku benci, dendam dan sumpah serapah?

Tidak hanya sampai disini, seharusnya kau malu lalu bringsut, ‘nembak ping telu ora ditrima-trima’. Tapi mungkin begitulah dirimu, ‘ora due isin!’ Astaghfirullah, sebenarnya aku tak mau mengingat-ingat kenyataan itu lagi. Tapi memang mukamu yang menjengkelkan itu tak mudah kulupakan, bahkan nampaknya hingga ke alam baka.

Tiba-tiba lagi aku mengingatnya, mantan kekasihku. Padahal aku ingin sekali aku melupakanya, tapi dia mungkin masih mengawasiku dalam ingatan. Aa, aku ingin ketemu—sekedar untu melepas rindu. Dimana? Kataku. Pohon cinta. Aku paham dan pagi selepas aku berdandan biasa aku menjemputnya di sekolahan setara SMA disebrang jalan samping rumah sakit umum.

Dan entah, ini sudah beberapa tahun pernikahanmu dengannya berlalu. Dengan mantan kekasihku yang hingga kini aku masih membencinya dengan cinta. Entah, bukannya masih belum bisa melupakan. Hanya saja secara tiba-tiba ia hadir diingatan dan dadaku. Seringkali bathin ini miris tak terkendali mendengar kabar keadaannya. Melalui mendengar kabar dari sahabat-sahabat suaminya dulu, membuat kebencianku semakin mendalam tak terukur ruang bathinku. Kadang aku merasa getir sendiri kala mengingatnya, dan ini keyakinanku yang tak bisa dipungkiri bahwa diantara aku dan dirinya masih ada ikatan bathin yang kuat melekat didinding naluriku. Lagi, bahkan pada saat tersembunyi tangisan bathinnya membanjiri dadaku, teles klebesing atiku.

Ah, sudahlah. Tak penting aku memikirkan nasibnya, lagi pula belum tentu ia memikirkan nasibku yang terarah panjang atas masa depanku. Namun baru sebentar aku menistakan fikiran ini, dering handphone lain yang biasa kupakai online facebook isyaratkan bahwa ada pesan singkat yang berlabuh. Dan ini darinya, mantanku.

Ah, itu sih akal-akalanmu saja menghibur diri. Aku faham betul sinyal yang kau pantulkan lewat pesan singkatmu. Coba kau pikir saja, lelaki tak semudah itu melupakan cinta dan kebiadaban seorang kawan kepada kawannya. Ya. Benar. Dari dulu kau tau aku termasuk orang keras kepala. Tapi kau harus tau aku tak keras hari seperti… ah, tidak. Aku tak mau mengutuk keaslian wataknya lagi. Sebab tanpa kuungkap kaupun tlah jauh merasakannya.

Apa? Aku lebih tau soal agama? Bukankah dia lebih dulu lulus dari pesantren yang pernah kita hisap keilmuannya bertahun-tahun? Betapa haramnya melukai perasaan saudara sendiri? Tidak. Meski Tuhan mengajarkan sifat memaafkan adalah keagungan. Tapi tidak kepadanya. Sebab aku tlah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak memaafkannya sebelum ia patuh menghadapku dan bermohon maaf dariku. Jelas sebagai manusia akupun punya egois sepertimu dan dia.

Menudian kutunjukan pesan singkat dari suaminya yang ditunjukan kemataku yang kemudian menusuk tajam hati meski selanjutnya kutertawakan getir. Betapa tidak, seorang yang berpendidikan tinggi menjulang, seorang guru yang berseragam lengkap dengan kesombongannya menghantamku bertubi-tubi dengan kata kotor dan rendahan—merendahkan aku sebagai laki-laki yang manusia.

Baik. Jika kau menganggap perilakunya sebagai kehilafan khas manusia, anggap saja apa yang kuungkap sama dengan yang dianggapkan—kekhilafan khas manusia biasa. Sudah, lebih cantik kita akhiri saja diskusi dadakan kita. Simpan saja rindu—cinta terlarang yang kita sembunyikan jauh diseberang hati ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun