Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

"Nribun", Sebuah Memori Mendalam Hubungan Ayah dan Anak Aremania Selama 90 Menit di Stadion

3 Oktober 2022   08:51 Diperbarui: 3 Oktober 2022   14:11 1884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase beberapa siswa di Kota Malang yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan. - Dokumen beberapa sekolah di Malang.

Bagaimana Bisa Kami Melupakan Malam yang Mencekam di Malang?

Hingga hari ini saya masih merasa hampa. Tidak bisa berpikir terlalu jernih, menerawang, dan seakan malas untuk melakukan apa saja. Sejak mengetahui berita kerusuhan di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu kemarin, rasanya hidup saya setengah mati rasa. Tidak bisa berkata-kata dan berkonsentrasi untuk melakukan hal-hal yang biasanya menjadi kebahagiaan saya.

Dulu, ketika ada sebuah kejadian kerusuhan massal, entah demo atau sepak bola, rasanya terjadi di tempat yang jauh. Seakan hal tersebut hanya bisa terjadi di suatu tempat nan jauh di sana. Tidak sampai melibatkan orang-orang yang saya kenal atau pernah saya temui sebelumnya.

Beberapa kejadian tersebut juga seakan menjadi hal yang membuat saya berpikir bahwa selama tinggal atau hidup di daerah yang aman-aman saja, maka pasti saya hanya membacanya dari berita dan berempati dengan mereka.

Namun, tidak dengan kejadian sabtu malam kemarin. Kejadian itu benar-benar terjadi di kota kelahiran saya sendiri. Di tempat yang tak jauh dari tempat tinggal saya. Dialami sendiri oleh orang-orang yang saya kenal. Orang-orang yang sebelumnya begitu bersemangat dalam hidupnya tetapi kini tinggal nama.

Serius, pada tahap mengetik kata ini, saya masih bergetar.

Seorang ayah menggendong puterinya menyelamatkan diri dari gas air mata di Stadion Kanjuruhan. - dok. Foto Grid Kompas
Seorang ayah menggendong puterinya menyelamatkan diri dari gas air mata di Stadion Kanjuruhan. - dok. Foto Grid Kompas

Malam itu hingga sekarang saya masih berada di Surabaya. Sudah menjadi tradisi bagi saya jika ada pertandingan antara Arema FC dengan Persebaya Surabaya, baik di Malang atau di Surabaya, saya menghindari dahulu perjalanan diantara dua kota tersebut. Entah menggunakan bus maupun kereta api.

Tensi yang tinggi sudah terasa bahkan dua minggu sebelum hari-H pertandingan. Jika di Surabaya, maka bisa merasakan nuansa kebencian terhadap Arema FC. Pun sebaliknya, jika berada di Malang, umpatan terhadap Persebaya pun kerap saya dengar. Itu sudah biasa. Sudah saya dengar sejak kecil bahkan mungkin sejak balita. Suatu hal yang juga mungkin biasa jika Anda lahir di Malang atau Surabaya.

Sampai sini, saya tidak bermaksud membenarkan apa yang sudah terjadi selama bertahun-tahun tersebut. Walau saya orang Malang dan memiliki beberapa kaos Arema, bukan berarti saya membenarkan tindakan oknum Aremania yang begitu membenci Persebaya atau sebaliknya. Bagi saya, sepakbola adalah hal yang harusnya membuat kita bergembira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun