Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Menerima Kegagalan dan Menghargai Diri Sendiri dari Sosok Ibu

29 November 2020   06:30 Diperbarui: 29 November 2020   07:14 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adagium bahwa anak laki-laki akan lebih dekat dengan ibu benar adanya.

Itu sudah saya buktikan sejak saya lahir sampai berusia hampir kepala 3. Walau tidak mengesampingkan peran ayah, tetapi bagi saya ibu memiliki peran yang besar. Ibu membentuk banyak sekali karakter dalam diri saya untuk menjadi pribadi yang mencintai dan menghargai diri sendiri. Ya, menjadi pribadi yang bermimpi seperti diri sendiri dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang saya miliki.

Menjadi pendidik adalah pekerjaan ibu yang diniatinya sejak kecil. Ibu saya gemar bercerita bahwa selepas SD, beliau sudah bercita-cita menjadi guru agama. Itulah sebabnya beliau bertekad untuk bisa masuk ke PGAN  - sebuah sekolah guru agama – agar bisa menjadi pendidik agama.

Penuturannya berlanjut ketika beliau berjuang menghadapi berbagai hambatan, baik secara materi maupun nonmateri. Hambatan materi berupa tiadanya biaya untuk membeli sepeda sebagai alat transportasi sekolah. Ibu pun harus berjalan kaki menuju sekolah yang jaraknya sekitar 3 km dari rumahnya.

Bukan saja hambatan materi, melainkan hambatan dari lingkungan sekitar yang kerap membuat saya banyak belajar darinya. Cemoohan lantaran mengenyam pendidikan di sekolah guru agama tidak digubrisnya. Saat itu memang tak banyak anak yang memilih bersekolah di PGAN. Ibu berpesan, ketika kita sudah memilih jalan yang kita yakini benar, maka kita harus tetap semangat sekuat tenaga tak peduli dengan penilaian sekitar. Prinsip itu juga yang kini saya pegang ketika menekuni bisnis bimbel sembari mengembangkan blog. 

Perjuangan ibu setelah lulus sekolah belum usai. Beliau harus menjadi Guru Tidak Tetap (GTT) di sebuah Madarasah selama hampir 15 tahun dari 1987 sampai 2002. Kala itu, saya masih ingat dengan gaji hanya 50.000 rupiah saja per bulan, ibu juga menyambi kehidupan dengan menjual berbagai jajanan yang dijual kepada murid-muridnya. Sembari menggendong adik saya yang masih kecil, tiap malam beliau membungkusi kue kering yang akan beliau jual.

Profesi ibu yang mengabdi menjadi GTT saya ikuti ketika dewasa meski saya hanya bisa bertahan selama tiga tahun. Saya salut dengan ibu yang tetap ikhlas menjadi GTT selama 15 tahun tanpa putus. - Dokumen Pribadi
Profesi ibu yang mengabdi menjadi GTT saya ikuti ketika dewasa meski saya hanya bisa bertahan selama tiga tahun. Saya salut dengan ibu yang tetap ikhlas menjadi GTT selama 15 tahun tanpa putus. - Dokumen Pribadi
Berkat semangat yang saya lihat dari ibu ini, kini saya kembali bangkit ketika rasa lelah menghampiri.  Kala saya mulai penat dengan aktivitas bolak-balik Malang-Jogja untuk mengurusi rintisan usaha bimbel, saya kembali teringat semangat ibu. Saya teringat beliau tak banyak berkeluh kesah sembari melakukan apa yang beliau bisa demi membantu ayah yang saat itu sedang diterpa badai krisis 1997.

Ketika ibu melihat rekan-rekannya yang sudah banyak diangkat menjadi PNS, ibu tetap ikhlas berbakti bagi sekolah. Pada pertengahan tahun 1996 –  saat beliau mengandung adik saya – dalam benak saya masih teringat beliau menatap papan pengumuman di sebuah kantor dengan helaan napas cukup panjang. Saya tak mengerti mengapa beliau sedikit menampakkan rasa kecewa. Akhirnya saya baru sadar bahwa ibu gagal dalam tes PNS yang beliau ikuti. Namun, pada keesokan harinya, beliau kembali larut dalam aktivitasnya mengajar sembari berjualan kue kering.

Apa yang dilakukan oleh ibu ini memberikan saya pelajaran berarti untuk tetap bisa bangkit dari kegagalan. Walau pahit dan butuh waktu untuk merenungi dan mengambil hikmah dari kegagalan itu, tetapi tidak berlarut-larut adalah satu kunci. Ini juga yang coba saya terapkan dari pembelajaran yang ibu berikan. Ketika saya gagal menjalin rekan bisnis untuk membuka cabang bimbel baru, saya pun tak mau larut dalam nestapa yang terlalu lama. Pun kala saya gagal memenangkan lomba blog atau penghasilan Google Adsense menurun, saya belajar bahwa tak perlu sedih berkepanjangan. 

Setiap orang memiliki jalan dan waktu keberhasilan sendiri-sendiri. Nasihat ini sering dikatakan ibu ketika saya mulai curhat apa yang sedang saya alami. Saya kerap bercerita kenapa di usia saya sekarang kok belum bisa seperti teman-teman saya. Kenapa teman-teman saya sudah menikah, memiliki rumah tetap, memiliki anak, dan bisa melakukan banyak hal untuk kedua orang tuanya. Sedangkan saya, yang untuk membelikan beras atau minyak goreng untuk ibu saja rasanya jarang.

Ibu kembali hanya tersenyum manis. Baginya, niat saya untuk bisa berbakti sudahlah cukup. Yang terpenting sekarang saya harus bisa memaafkan diri sendiri dan mencintai diri sendiri seapaadanya. Menurut ibu, ini penting karena menjadi modal untuk bisa mengarungi kehidupan yang selanjutnya. Dan saat kita bisa mencintai diri sendiri seapaadanya, maka kita akan bisa menghadapi rintangan kehidupan ini. Mencintai, menghargai diri sendiri dan memasrahkan kehidupan pada Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun