Lagi-lagi, saya pun juga melakukan hal yang tak biasa bagi siswa saya. Saat itu, saya menyelenggarakan lomba cerdas cermat tebak lagu dan tebak nama kota. Agar lebih meriah, kami menggunakan bel listrik yang sudah dibuat saat praktikum IPA.
Saya senang semua siswa cukup antusias. Walau membuat gaduh kelas di sekitarnya, tetapi karena saat itu sedang sudah tak ada pelajaran, maka sah-sah saja.Â
Dari lomba itu, saya mendapatkan kejutan ternyata ada salah seorang siswa yang amat pendiam dan sempat akan dikonsultasikan ke layanan anak berkebutuhan khusus hafal 34 nama provinsi dan ibu kotanya.Â
Ia juga hafal tempat wisata di suatu kota lengkap dengan makanannya. Padahal, saat pelajaran reguler, ia amat diam ketika saya tanya mengenai materi yang berkaitan tersebut.
Sepanjang hari itu juga, saya juga bisa lebih tahu masalah yang selama ini menjadi kesalahan saya dalam mengajar.Â
Ya, saya bisa menikmati sekali kegiatan cerdas cermat itu karena tidak dikejar target RPP, silabus, dan tetek bengek administrasi lainnya. Yang penting tujuan pembelajaran saat itu tercapai, yakni pengetahuan tentang provinsi tersampaikan, maka sebenarnya kegiatan pun berhasil.
Siswa saya juga amat antusias dan berusaha berpikir mencari apa yang sedang saya tanyakan. Sungguh berbeda dengan pembelajaran hari biasa yang seakan dikejar target.
Di akhir pembelajaran, sembari menata kelas untuk terakhir kali, saya pun menyesal mengapa kegiatan itu baru terlaksana pada akhir tahun.Â
Namun, saya sadar semua kembali kepada target mengajar yang harus saya penuhi. Yang harus saya pastikan bahwa siswa saya bisa mencapai kompetensi dasar yang ditargetkan. Masalah mereka nyaman atau tidak, itu urusan belakangan.
Perenungan inilah yang membuat saya memutuskan mengakhiri karir menjadi guru di sekolah formal.Â
Jujur, dalam lubuk hati yang paling dalam, saya tidak sanggup mengajar dengan cara seperti itu. Apalagi, ketika siswa saya sering saya tinggal untuk urusan administrasi, rasanya kok saya berdosa ya.