Udara masih teramat dingin. Entah bagaimana aku harus berharap musim panas segera hadir. Aku benar-benar muak dengan segala drama penyakit ini.
"Jalan kita berbeda. Aku bahkan sangat tak sempat mengucapkan selamat tinggal."
Aku masih ingat kata terakhirmu itu. Di ruang tunggu rumah sakit beberapa waktu lalu.
Waktu teramat cepat. Aku tak menyangka jalan kita memang berbeda. Saat kau ternyata berada di jalan baru. Yang entah bagaimana gelapnya lorong udara di sana, aku tak lagi mengerti.
"Hidup seperti jungkat-jungkit. Kau harus siap naik dan turun kapan saja".
Lagi-lagi suara itu berdengung. Aku menghela nafas yang semakin pendek. Aku tak tahu apakah mereka sudah masuk ke dalam tubuhku. Yang mulai terasa ringkih dan tak berdaya.
Kalau saja aku bisa, ingin kuikuti jalanmu. Menembus lorong gelap dan bersama dalam satu langkah.
Sayang, aku terjebak dalam tanggung jawab yang begitu besar.
Aku masih menatap jungkat-jungkit itu dengan nanar. Yang biasanya menjadi rebutan banyak manusia, kini hanya seonggok besi tak berguna. Â Seonggok benda yang jadi sumber petaka. Semua orang kota menyumpah serapahnya.
Kupegang besi berkarat itu dengan hati-hati. Petugas kota telah menyemprotkan cairan entah apa namanya kepadanya. Berharap makhluk kecil keparat itu enyah selamanya.
Aku menggosok-gosokkan tanganku semakin kencang. Aku harap makhluk itu masih ada dan bisa merajalela di relung nafasku.