Makanya, jika transit di Surabaya, saya lebih memilih untuk turun di Stasiun Wonokromo. Peron di stasiun ini cukup tinggi. Jikalau mendapat peron rendah, maka ada petugas yang siap untuk memberikan tangga dan tak perlu bergeser ke kereta dengan nomor tengah.
Masalah peron yang pendek dan rendah ini juga menyebabkan beberapa stasiun baru memperbolehkan penumpang untuk masuk peron beberapa saat sebelum kereta tiba.Â
Saya yakin alasan ini lebih kepada menjaga keamanan penumpang. Mengingat, peron yang sempit dan pendek seperti di Stasiun Malang Kota Lama ini cukup berbahaya. Terutama, jika ada penumpang yang membawa anak kecil dan sangat berbahaya jika orang tuanya tidak mengawasi mereka dengan seksama.
Apesnya, kadang hasrat untuk buang air kecil di dalam diri kadang timbul saat menunggu kereta. Masalahnya, toilet di dalam stasiun banyak yang berada di dalam area peron.Â
Untungnya, petugas stasiun cukup baik dengan memperbolehkan untuk masuk dulu ke peron stasiun dengan meninggalkan identitas diri. Setelah kegiatan buang hajat rampung, maka penumpang tersebut harus kembali ke ruang tunggu stasiun dan hanya diperbolehkan kembali masuk ke peron jika kereta akan tiba.
Peraturan ini juga berlaku di Stasiun Surabaya Gubeng Lama yang hanya memperbolehkan penumpang masuk ke peron beberapa saat sebelum kereta tiba atau jika rangkaian kereta sudah tersedia di jalurnya. Jadi, biasanya saya menunggu dulu di musala luar stasiun dan baru masuk beberapa saat sebelum pintu peron dibuka.
Selain Stasiun Wonokromo, peron favorit saya adalah Stasiun Lempuyangan. Stasiun yang saya anggap sebagai saudara jauhnya Stasiun Wonokromo karena sama-sama melayani penumpang kereta kelas ekonomi.Â
Panjangnya peron stasiun ini membuat saya tak memerlukan banyak energi untuk menuju pintu keluar stasiun dan menunggu bus TransJogja di haltenya atau berjalan sebentar ke arah flyover untuk memesan ojek online.
Berbeda halnya dengan Stasiun Yogyakarta Tugu yang memiliki banyak sekali peron sehingga kereta yang saya naiki kerap mendapat jalur tengah. Walau peronnya tinggi, saya harus masuk dan keluar kereta lain yang sedang berhenti.Â
Dan, dengan barang bawaan yang cukup banyak, meski dengan susah payah kegiatan ini harus dilakukan untuk mencapai pintu keluar. Mengingat, Stasiun Yogyakarta Tugu tidak memiliki terowongan antar peron seperti Stasiun Malang Kota Baru.Â