Sudah dua bulanan ini saya tidak pulang ke Malang. Rentang waktu tersebut membuat saya cukup kangen dengan kuliner khasnya. Selain bakso kecambah UM, salah satu jujugan kuliner yang membuat saya selalu kangen adalah kuliner Warung Nikmat Kauman.
Kuliner ini berada di Jalan Kauman Klojen Kota Malang. Berada tak jauh dari Alun-Alun Kota Malang, warung kecil yang menempati sebuah lahan yang tak jauh dari Kantor PCNU Kota Malang ini selalu ramai.Â
Tak hanya dijejali pembeli saat hari libur, pada hari biasa pun warung ini tak pernah sepi.
Adalah Bu Zuhriah, pemilik dari warung ini yang menjadi ikon kuliner heritage di Kota Malang. Sejak tahun 1975, beliau telah berjualan di warung ini dengan berbagai macam masakan. Rawon dan soto menjadi andalan menu warung ini.
Saya sendiri mengenal warung ini sebenarnya sejak kecil. Saya kerap diajak ayah saya mampir makan siang saat menemani beliau berbelanja kain di Pasar Besar Malang.Â
Kala itu, saya selalu tergoda dengan nikmatnya rawon yang begitu gurih. Ditambah dengan kerupuk udang yang menemani makanan ini, kenikmatan yang disajikan sungguh paripurna.
Saat mengajar, saya pun juga kerap datang ke warung ini ketika istirahat makan siang. Letaknya yang hanya sekitar 500 meter dari sekolah saya dulu membuat tak ada referensi warung lain yang bisa saya datangi. Apalagi, menu makanan di warung ini amat murah.
Satu porsi nasi rawon dan soto dijual dengan harga 10.000 rupiah saja. Tak hanya menjual nasi rawon dan soto, beberapa menu lain seperti nasi pecel, nasi bali telor, dan nasi sop pun dijual dengan harga di bawah 10.000 rupiah per porsi.
Ada dua jenis sate yang dijual oleh Bu Zuhriah. Kedua jenis sate tersebut adalah sate pedas dan asin.
Varian sate komo yang pedas menggunakan bumbu cabai merah sebagai bumbu dasarnya. Meski pedas, ada rasa sedikit manis yang terasa dari sate ini. Untuk varian sate asin, gurihnya santan kelapa menjadi inti dari rasanya.
Baik sate manis maupun asin sama-sama dijual dengan harga 10.000 rupiah. Keduanya juga menjadi favorit pembeli warung ini untuk dimakan di sana atau dibawa pulang.Â
Kadang, jika saya datang terlalu siang, saya malah kehabisan kedua varian sate komo tersebut.Â
Alasannya, banyak pembeli yang membungkus sate itu untuk dibawa pulang. Tak tanggung-tanggung, para pembeli bisa membawa pulang hingga 10 tusuk sate.
Ada pengajian rutin yang diselenggarakan oleh jamaah Muslimat NU di Kantor PCNU. Kegiatan ini juga bersamaan dengan kebaktian di GKJW Malang Congregation Church.Â
Jika dua kegiatan keagamaan ini rampung, maka dipastikan warung Bu Zuhriah penuh dengan mereka yang akan sarapan.
Warung pun penuh dan kadang Bu Zuhriah cukup kewalahan melayani pembeli. Meski demikian, adanya putra-putri beliau yang membantu melayani pembeli membuat makan di warung itu masih nikmat meski ramai.Â
Beliau tetap ramah dan telaten melayani pembeli walau usianya sudah lebih dari 70 tahun.
Beliau konsisten menggunakan daging segar agar tekstur sate komo bisa terjaga. Tetap empuk dan bumbu yang digunakan bisa meresap.Â
Tak hanya itu, memakan hingga dua tusuk sate komo ini tidak terasa eneg. Makanya, saya selalu melihat beliau tetap mengiris sate di sepanjang hari sambil dibantu putrinya.Â
Kadang, saya juga masih melihat putranya membakar sate luar warung yang membuat aroma kenikmatan sate komo ini semakin menggoda.
Memang ada uang pecahan 100.000 ribu yang saya miliki tetapi beliau tak memiliki uang kembalian. Jadi, beliau mempersilakan saya untuk membayar jika saya datang lagi ke sana.
Jika boleh meniru adagium dari sebuah iklan minuman kemasan, apapun agamanya, tetap sate komo Bu Zuhriah junjugannya.
Penasaran? Silakan datang ke Kota Malang.