Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nyatanya, Pengunjung Museum Lebih Asyik Mencari Spot Fotografi

26 November 2019   08:39 Diperbarui: 27 November 2019   01:00 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Nasional Jakarta. - Dokpri

Di manapun kota yang saya kunjungi, saya selalu menyempatkan diri mendatangi museum.

Selain memang harga tiketnya yang murah, ada sensasi baru -- melihat langsung benda bersejarah atau koleksi unik -- yang tak saya dapatkan di kota saya. Meski demikian, bukan berarti kunjungan ke museum selalu menyenangkan.

Bisa jadi, saya tak banyak mendapatkan apa yang saya inginkan. Entah museum tersebut sedang direnovasi, tutup, hingga yang membuat saya kerap kesal adalah ulah dari pengunjung lain yang tidak memerhatikan kondisi sekitarnya. Dan tentunya, etika dan peraturan selama berada di dalam museum yang dilanggar.

Salah satu pengalaman yang kurang menyenangkan saat berkunjung ke museum saya alami ketika berada di Museum Nasional (Museum Gajah). Museum yang berada di seberang Monas ini menjadi jujugan saya lantaran dekat dengan Stasiun Gambir. Jadi, saya menunggu jam kepulangan Kereta Api Taksaka selepas perhelatan Kompasianival kemarin dengan berkunjung ke sini.

Sebenarnya, fasilitas museum ini sudah cukup lengkap. Saya, yang membawa barang bawaan banyak sangat terbantu dengan penitipan tas yang disediakan oleh pengelola museum.

Masalah baru muncul ketika banyak pengunjung yang begitu riuh ingin segera didahulukan untuk menitipkan dan mengambil tas mereka. Jumlah petugas yang hanya 2 orang serasa tidak cukup. Saya harus mengalah untuk menunggu pengunjung lain yang tidak mau mengalah tersebut.

Itu belum seberapa. Kala memasuki ruang koleksi benda-benda purbakala yang kebanyakan berasal dari zaman akhir Singasari dan Majapahit, di situlah saya mulai merasa miris. Memang, bagian ini cukup luas dan memiliki keunggulan. Jika museum lain memajang koleksinya di dalam ruangan yang gelap, maka Museum Nasional ini berbeda.

Aneka koleksi yang dimiliki museum ini justru dipajang di halaman tengah dan serambi. Alhasil, arca ataupun replikanya pun seakan memiliki aura yang lebih cerah. Sama halnya arca yang saya temukan di luar candi-candi yang saya temui. Penataan semacam ini jelas memberikan proporsi dan komposisi yang pas untuk spot fotografi.

Inilah yang menyebabkan cukup banyak pengunjung yang memanfaatkan bagian ini untuk berfoto. Dan bisa diduga, banyak pengunjung -- terutama milenial yang sudah siap dengan peralatan tempurnya untuk mendapatkan spot fotografi yang luar biasa hebatnya.

Dengan aneka pose yang coba mereka lakukan, museum serasa surga fotografi yang bisa menghasilkan efek paripurna. Nyatanya, apa yang mereka lakukan cukup mengganggu. Betapa tidak, selain cukup lama berada di salah satu spot, tidak jarang mereka juga memegang seenaknya koleksi museum yang sebenarnya dilarang.

Saya bahkan menegur mereka langsung untuk enyah dari tempat tersebut lantaran ada dua orang turis asing yang begitu ingin memotret arca Prajnaparamitha. Mereka menunggu lama beberapa pengunjung milenial yang asyik cekikikan dan terus berulang mencoba mendapatkan hasil foto yang maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun