Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebuah Kontradiksi Itu Bernama Pasar Besar Malang

9 Juli 2019   08:00 Diperbarui: 13 Juli 2019   07:14 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau membandingkan PBM dengan DTC atau Pasar Wonokromo, jelas PBM cukup tertinggal. Di DTC, lantai bawah memang terasa cukup pengap. Tapi tidak dengan lantai atas yang full AC. Makanya, kala saya menemani ibu berbelanja kain di lantai dua ini, saya selalu siap sedia dengan kipas angin kecil yang dinyalakan menggunakan sumber energi baterai.

Lagi dan lagi, walau saya harus menahan panas yang amat sangat, berbelanja kain atau baju di PBM ini sangatlah murah. Sebagai perbandingan, saya pernah membeli satu buah celana panjang hitam dengan harga 60.000 rupiah saja. Jika membeli barang tersebut di Mall, pasti berkisar di atas 120.000 rupiah. Maklum, PBM menjadi pasar grosir terbesar di Kota Malang.

Di lantai dua ini, ada pula optik kacamata yang juga memberikan tarif khusus bagi pelanggannya. Saya pernah membeli frame kacamata seharga 200.000 rupiah. Kala saya menemukan dengan model dan jenis yang sama di optik terkenal, harganya bisa mencapai 500.000 rupiah. Ibu saya sendiri berbelanja kain batik yang digunakan sebagai seragam di sekolahnya. Di sini juga tersedia banyak toko yang menyediakan batik khas sekolah.

Lantai 2 yang penuh dengan pakaian dan kain. - Dokpri
Lantai 2 yang penuh dengan pakaian dan kain. - Dokpri
Jika lantai  1 dan 2 PBM begitu riuh dengan aktivitas penjual dan pembeli, suasana itu tak terjadi di lantai 3 dan 4. Di sini, tak satupun aktivitas ekonomi yang dilakukan. Penyebabnya, selepas kebakaran yang terjadi pada 2016 silam, lantai 3 dan 4PBM belum diperbaiki. Dulu, ada tenant Matahari yang menghuninya. Bahkan, ada pula lapangan futsal dan arena balap mobil tamiya di lantai 4. Ada pula pujasera yang juga sangat ramai.

Kini, semua itu lenyap. Yang ada, bangunan kosong tempat para gelandangan di Kota Malang tidur dan makan. Hingga akhirnya, tempat tersebut digunakan sebagai tempat mutilasi yang menghebohkan itu. Sang pelaku yang ternyata seorang gelandangan diduga menjadikan lantai 3 PBM sebagai tempat tidur dan tindakan asusila kepada korbannya.

Jalan bagi pemotor menuju lantai 3 yang memprihatinkan. - Dokpri
Jalan bagi pemotor menuju lantai 3 yang memprihatinkan. - Dokpri
Saya tidak tahu sampai kapan PBM dibiarkan seperti ini. Padahal, sebagai warga kota yang ingin kotanya tertata rapi, pasar ini harus segera dibenahi. Bukankah ada Pasar Oro-Oro Dowo dan Pasar Bareng, dua pasar tradisional di Kota Malang yang sudah berada di atas SOP pasar tradisional kebanyakan? Di sana malah kebersihannya sangat terjaga dan pembeli bisa menggunakan troli layaknya membeli di pasar modern.

Lanskap Kota Malang dilihat dari lantai 3. - Dokpri
Lanskap Kota Malang dilihat dari lantai 3. - Dokpri
Tangga di lantai 3 menuju lantai 4. Di sinilah terjadi penemuan mayat korban mutilsi tercecer dalam beberapa bagian selain di kamar mandi. Sekarang, tempat ini dibiarkan sepi. - Dokpri
Tangga di lantai 3 menuju lantai 4. Di sinilah terjadi penemuan mayat korban mutilsi tercecer dalam beberapa bagian selain di kamar mandi. Sekarang, tempat ini dibiarkan sepi. - Dokpri
Akhirnya, di antara rasa benci saya, kadang muncul rasa rindu berbelanja dan berpanas-panasan sambil makan sempol, makanan khas Kota Malang di PBM ini. Semoga saja, keinginan untuk merevitalisasi pasar tradisional yang menjadi ikon Kota Malang ini benar-benar terlaksana.

Saya hanya ingin pasar ini dikenal baik layaknya ikon kota lain seperti Pasar Klewer, Pasar Beringharjo, Pasar Turi, ataupun Pasar Tanah Abang. Bukan berita kasus mutilasi yang menghebohkan dan membuat nama pasar tradisional ini semakin kelam.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun