Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Ironi Transportasi di Dekat Stasiun

8 Juli 2019   08:00 Diperbarui: 8 Juli 2019   18:06 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengemudi taksi menjajakan jasanya. - Dokpri

Saya sudah duduk hampir setengah jam di portable Trans Jogja Stasiun Lempuyangan ini.
Sepertinya, bus yang saya tunggu masih terjebak macet entah di mana. Beberapa pengemudi taksi tak hanti-hentinya menawarkan jasanya. Dengan segala bujuk rayunya, mereka berharap saya sedikit saja mencoba bertanya tentang tarif ataupun ada tanda-tanda tertarik dengan jasa mereka.

"Menyang Tempel toh. 70 ewu wae"

Saya masih menggeleng. Prinsip saya tetap. Saya akan naik Trans Jogja menuju Terminal Jombor dan oper dengan bus jurusan Magelang. Walau sebenarnya ada uang cukup jika saya naik ojek atau taksi ini, saya masih mencoba bertahan sekuat tenaga agar tetap bisa memanfaatkan transportasi umum.

Selepas gagal merayu saya, sang pengemudi masih belum menyerah. Mereka pun merayu para penumpang kereta lain yang baru turun. Satu demi satu penumpang mengacuhkan mereka. Berjalan perlahan sambil menenteng barang bawaan dan memainkan gawai mereka. Lebih tepatnya, memesan ojek lewat aplikasi.

Lagi, penawaran itu kerap ditolak. -Dokpri
Lagi, penawaran itu kerap ditolak. -Dokpri
Rombongan mereka tak henti-hentinya datang silih berganti yang segera diberi tawaran serupa. Dan, lagi l-lagi, tak ada satupun dari mereka yang barang menengok wajah para penjaja taksi konvensional itu. Hingga, ada sebuah keluarga yang bersedia menggunakan jasa mereka. Seorang ayah, ibu, dan empat orang. Dari sedikit pembicaraan mereka, saya sedikit mendengar tawar-menawar.

Keluarga tersebut akan pergi ke sekitar Wates yang dihargai oleh pengemudi taksi dengan harga 60 ribu rupiah. Lha, kok lebih murah daripada yang ditawarkan kepada saya tadi? Wates lebih jauh lho daripada Tempel. Sang ayah menawar menjadi 50 ribu dan langsung disanggupi oleh si pengemudi taksi.

Sementara saya, masih setiap menunggu bus yang saya inginkan tiba. Untunglah, tak berapa lama kemudian sebuah bus pun muncul. Saya segera masuk dan mendapati hanya ada 4 orang di dalamnya. Seperti biasanya, kondektur bus betanya ke mana arah tujuan saya yang langsung saya jawab akan transit di halte Papmi, di Jalan Ahmad Dahlan.

Seorang pengemudi ojek online sedang menyelesaikan tugasnya. Kadang saya ngeri kalau mereka lama berada di dekat stasiun. - Dokpri
Seorang pengemudi ojek online sedang menyelesaikan tugasnya. Kadang saya ngeri kalau mereka lama berada di dekat stasiun. - Dokpri

Perlu waktu sekitar 25 menit dari Stasiun Lempuyangan untuk mencapai halte ini. Selepas turun, saya pun ganti bus untuk jurusan Terminal Jombor dan memakan waktu sekitar 25 menit lagi. Lalu, bus jurusan Magelang dengan waktu sekitar 15 menit sebelum tiba di kediaman saya di Tempel.

Apa yang saya paparkan tadi adalah kegiatan yang hampir setiap bulan saya lakukan dan saya alami. Dari paparan tadi, ada beberapa poin yang menjadi masalah klasik transportasi hampir di setiap kota. Terutama, di stasiun.

Nyatanya, turun di stasiun bukanlah pilihan efektif untuk cepat sampai di tempat tujuan. Ada semacam "birokrasi" yang harus dilewati oleh penumpang. Birokrasi tawaran penjaja angkutan konvensional dan birokrasi berjalan menuju titik aman menjauhi zona merah. 

Apapun pilihan penumpang, percayalah, tak ada sesuatu hal yang bisa memudahkan penumpang untuk bisa menggunakan transportasi dengan cepat, mudah, dan murah.

Kesetiaan saya terhadap Trans Jogja, selain harganya murah, saya juga ingin sedikit berkontribusi mengurangi kemacetan di Jogja yang semakin parah. Dan juga, saya melihat, lama-kelamaan, transportasi umum yang sebenarnya bisa diandalkan ini semakin tak dilirik lagi. Saya sering melihat kondektur yang sempat santai atau bahkan tertidur sebentar lantaran memang tak ada penumpang yang naik turun.

Di kota lain pun sama. Di Malang malah keadaannya lebih parah. Mikrolet berbagai jalur banyak yang hanya diparkir di pinggir jalan tanpa ada yang mau menaiki. Ketika turun dari stasiun, birokrasi serupa juga saya rasakan.

Satu hal yang saya sayangkan, informasi mengenai angkutan apa saja yang bisa digunakan penumpang selepas turun dari stasiun jarang sekali saya lihat. Ketika turun di Stasiun Lempuyangan, banyak penumpang yang baru pertama kali ke Jogja kebingungan akan naik bus jurusan apa dan dari mana. 

Padahal, ada 2 portabel yang tersedia di dekat stasiun ini. Fenomena ini juga menjadi bukti bahwa konektivitas antar moda trasnportasi di kota besar belumlah maksimal.

Akhirnya busnya datang. - Dokpri
Akhirnya busnya datang. - Dokpri

Papan informasi semacam ini sebenarnya sangat perlu, terutama di pintu keluar stasiun. Bisa lebih baik, ada petugas khusus yang stand by berjaga di sekitar pintu keluar tersebut jika ada penumpang yang bertanya mengenai tata cara pergi ke tempat tertentu.

Saya tidak tahu mengapa moda transportasi di sekitar stasiun kereta api tidak bisa terintegrasi dengan baik. Di tengah semakin ramainya penggunaan trasnportasi online yang harus ditebus dengan berjalan kaki, sebenarnya, jika moda transportasi konvensional juga diberi perhatian, maka mereka juga bisa mendapatkan penumpang.

Saking sepinya penumpang, petugas Trans Jogja seringkali sampai tertidur. - Dokpri
Saking sepinya penumpang, petugas Trans Jogja seringkali sampai tertidur. - Dokpri

Tidak seperti yang terjadi selama ini kala mereka juga berjalan sendiri dan akhirnya memberi tarif sendiri. Penumpang pun akan enggan menggunakannya. Jika ada sedikit solusi, pihak terkait bisa memberi batasan harga bagi penumpang yang menggunakan transportasi konvensional semacam itu. 

Batasan tergantung jarak yang mereka tempuh. Batasan ini juga bisa terpampang pula berdekatan dengan informasi mengenai angkutan umum yang ada. Jadi, semuanya bermuara kepada upaya berkelanjutan agar penumpang tidak mengutamakan menggunakan transportasi daring.

Semua memang butuh proses. Butuh tekad kuat untuk memulai. Jika penataan ini tidak dilakukan, maka yang ada gambaran seperti paparan tadi akan terus berlangsung. 

Sebagai manusia biasa, rasanya saya tidak tega juga melihat para penjaja taksi konvensional tak mendapatkan satu pun penumpang. Meski rezeki ada yang mengatur, bukan berarti kita menutup mata akan hal ini.

Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun