Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Pithik Ingkung", Pembeda Perpisahan SD di Kota dan Desa

25 Juni 2019   09:39 Diperbarui: 25 Juni 2019   20:05 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana perpisahan SD di kota (kiri) dan desa (kanan). (Dokumentasi pribadi)

Minggu ini, linimasa jejaring sosial Anda pasti banyak dipenuhi oleh foto rekan atau saudara yang baru saja mengikuti prosesi pelepasan siswa, baik TK, SD, SMP, maupun SMA.

Kali ini, saya akan sedikit membahas acara pelepasan siswa yang pernah saya ikuti. Di sini, saya akan membatasi untuk jenjang SD mengingat saya pernah menjadi guru SD dan pengisi acara beberapa sekolah dasar yang sedang menjalani prosesi sakral ini.

Sebagai salah satu tahapan pendidikan, pelepasan siswa sangatlah penting. Tak sekadar memajang siswa Kelas 6 untuk naik ke panggung dan menyanyikan lagu-lagu perpisahan, acara ini juga menjadi ajang untuk menjalin tali silaturahmi antara pihak sekolah dengan wali murid dan juga sebagai tanda untuk memberikan tanggung jawab kembali pendidikan anak kepada wali murid. Apakah akan dilanjutkan ke bangku SMP atau dihentikan.

Nah, uniknya, saya memiliki beberapa poin yang menjadi pembeda acara ini di desa dan di kota. Dulu, setiap tahun, saya mengiringi musik paduan suara di sekolah ibu saya di sebuah desa di Kabupaten Malang. Tepatnya, di sekitar pantai selatan yang jaraknya sekitar 50 km dari Kota Malang. Sementara, sekolah tempat saya mengajar hanya berjarak sekitar 500 m dari alun-alun kota.

Lantas, apa saja perbedaan itu?

Pertama, dari para pejabat yang datang. Dalam berbagai acara perpisahan SD, tentu ada acara sambutan-sambutan yang cukup panjang. Mulai sambutan wali murid, kepala sekolah, siswa sendiri, komite, hingga para pejabat daerah. Nah, yang menjadi menarik untuk dicermati adalah kehadiran pejabat daerah.

Baik di desa maupun di kota, semua sekolah akan mengundang pejabat daerah. Biasanya, pejabat daerah yang diundang adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan (UPT). Saya masih ingat kala harus mengirimkan surat undangan kepada Kepala UPT yang menaungi sekolah tempat saya mengajar dulu.

Saat mengantarkan surat itu, ada sekitar 4-5 surat serupa yang tergeletak di meja tamu. Menurut pegawai UPT, saat hari-H  acara pelepasan siswa, ada sekolah lain yang juga mengadakan perpisahan siswa. Untuk itulah, Kepala UPT akan menggilir sekolah mana yang akan didatangi. Tidak mungkin semua sekolah akan menjadi jujugan pejabat tersebut. Sekolah yang tidak didatangi Kepala UPT akan mendapat giliran tahun depan.

Sementara, saat mengisi acara di sekolah ibu saya di desa tadi, Kepala UPT di kecamatan itu, seorang ibu paruh baya sudah siap dengan motornya di sebuah warung makan kecil di Kota Kecamatan pagi buta. 

Dari penuturannya, ia akan mendatangi 3 sekolah di wilayah naungannya. Ia gilir waktu untuk kegiatan tersebut dari pagi hingga menjelang sore mengingat cakupan wilayah yang sangat luas. Sekolah-sekolah di lingkungan tersebut, tampakanya telah menjadwal acara pelepasan siswa bergiliran, dari Senin hingga Sabtu. Tujuannya, agar Kepala UPT bisa hadir di semua sekolah.

Perlu perjuangan untuk menuju SD di kaki gunung ini. - Dokpri
Perlu perjuangan untuk menuju SD di kaki gunung ini. - Dokpri
Kepala UPT sangat bersemangat untuk memberikan sambutan di sekolah-sekolah naungannya lantaran angka putus sekolah di wilayah tersebut saat itu cukup tinggi. Alasan tidak ada biaya menjadi alasan utama. Siswa laki-laki biasanya akan putus sekolah dengan alasan bekerja di ladang atau menjadi TKI mengikuti jejak orangtuanya sebagai penyadap karet. Sementara, bagi siswa perempuan, selain bekerja, tentu ada beberapa diantaranya yang memutuskan untuk menikah.

Pak Sunarwi, Kepala Sekolah SD tempat ibu saya mengajar turun langsung memberikan instruksi kepada siswi yang akan naik ke panggung. Dengan jarak rumah ke sekolah yang cukup jauh, banyak siswi tersebut rela menginap di sekolah untuk merias wajahnya pada acara perpisahan. Menurut Pak Suanrwi kala itu, usaha memeriahkan acara perpisahan ini adalah salah satu langkah menekan angka putus sekolah. - Dokpri.
Pak Sunarwi, Kepala Sekolah SD tempat ibu saya mengajar turun langsung memberikan instruksi kepada siswi yang akan naik ke panggung. Dengan jarak rumah ke sekolah yang cukup jauh, banyak siswi tersebut rela menginap di sekolah untuk merias wajahnya pada acara perpisahan. Menurut Pak Suanrwi kala itu, usaha memeriahkan acara perpisahan ini adalah salah satu langkah menekan angka putus sekolah. - Dokpri.
Pejabat dari UPT maupun perangkat desa akan ikut dalam acara perpisahan tersebut tak henti-hentinya mengajak orangtua siswa Kelas 6 agar terus menyekolahkan anaknya. Mereka bahkan akan memberikan dukungan penuh bagi siswa yang mengalami kendala untuk meneruskan ke jenjang SMP yang ada di kota kecamatan, baik negeri maupun swasta. Yang penting tetap sekolah.

Awalnya saya tidak percaya akan tingginya angka putus sekolah ini. Namun, suatu ketika saya melihat sendiri ibu saya menasehati dua siswa laki-laki yang secara fisik sudah cukup besar. Ibu menasehati mereka karena keduanya telah benar-benar mantap ikut ayah mereka ke luar kota bahkan keluar negeri untuk bekerja.

Menurut ibu saya, keduanya memang pernah tidak naik kelas selama 2 tahun. Jadi, secara usia, mereka telah matang dan semangat belajar mereka sudah mulai menghilang. Dari data pokok Kemendikbud, pada 2019 ini, meski angka putus sekolah menurun, namun masih cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor utama terjadinya putus sekolah.

Sementara itu, dukungan informasi dan akses lebih baik di kota membuat angka putus sekolah sangat rendah dan hampir nihil. Saya sudah mendapat jawaban sekolah impian murid-murid kelas 6, baik negeri ataupun swasta. Maka dari itu, pejabat daerah jarang sekali datang ke acara perpisahan.

Siswi di sekolah tempat saya mengajar dulu berpose saat jeda acara. Dengan fasilitas pendidikan yang lengkap dan tingkat kesadaran masyarakat tinggi akan pendidikan, semua siswi tersebut bertekad meneruskan sekolah hingga perguruan tinggi. - Dokpri
Siswi di sekolah tempat saya mengajar dulu berpose saat jeda acara. Dengan fasilitas pendidikan yang lengkap dan tingkat kesadaran masyarakat tinggi akan pendidikan, semua siswi tersebut bertekad meneruskan sekolah hingga perguruan tinggi. - Dokpri
Kedua, peran wali murid dalam acara perpisahan di kedua daerah ini cukup unik untuk diamati. Di kota, peran mereka saya amati tentu jauh lebih besar. Sejak kelas kecil memang sudah ada paguyuban wali murid. Saat putra-putri mereka beranjak ke kelas 6, mereka juga berperan sebagai evet organizer segala kegiatan siswa-siswi mereka, mulai istighosah, kemah, outbond, perpisahan, hingga rekreasi ke luar kota. Guru-guru biasanya hanya sebatas mendampingi siswa kelas 6.

Sementara, dengan teknis berbeda, dukungan orang tua murid di desa tak terlalu banyak terlihat pada acara pra perpisahan. Semua kegiatan lebih banyak dilakukan oleh para guru. Namun, jangan remehkan peran mereka saat acara perpisahan. Bisa-bisa, acara di kota kalah.

Layaknya acara hajatan pernikahan, perpisahan Kelas 6 juga dilakukan secara besar-besaran. Uniknya, segala keperluan mulai sound system, panggung, dan tata rias disumbang oleh wali murid yang memiliki usaha di desa tersebut. Jadi, dari kejauhan, rasanya seperti ada acara kondangan 7 hari 7 malam. Kondangan siswa-siswi yang mengakhiri masa sekolah mereka di sekolah dasar.

Persiapan acara perpisahan SD di desa. - Dokpri
Persiapan acara perpisahan SD di desa. - Dokpri
Baik di desa maupun di kota, dukungan penuh ini menjadi bukti bahwa masa sekolah dasar adalah masa penting bagi kehidupan seseorang. Mungkin, ada jenjang yang lebih tinggi yang bisa digapai. Namun, lamanya masa belajar di SD membuat acara perpisahan ini menjadi berbeda. Lebih haru dan lebih mengena di hati. Itulah alasan mengapa banyak wali murid dan guru yang menitikkan air mata saat para siswa kelas 6 naik ke pentas, diberi kalungan medali, dan menyanyikan lagu-lagu perpisahan seperti "Terima kasihku" dan "Hymne Guru". Sangat berbeda saat hal serupa dilakukan di SMP, SMA, maupun perguruan tinggi.

Banyak hal yang sudah diserahkan kepada wali murid, jadi guru SD Kota memiliki banyak waktu luang saat acara perpisahan. - Dokpri
Banyak hal yang sudah diserahkan kepada wali murid, jadi guru SD Kota memiliki banyak waktu luang saat acara perpisahan. - Dokpri
Untuk itulah, acara perpisahan ini menjadi salah satu pelecut bagi mereka agar tetap semangat melanjutkan pendidikan karena dukungan bagi mereka masihlah besar. Dengan naik ke panggung, paling tidak rasa bangga telah giat belajar selama 6 tahun harus tetap dijaga untuk meneruskan pendidikan dan menggapai impian.

Ketiga, saya kerap mengamati hidangan yang diberikan saat acara ramah tamah. Sekolah di kota, dengan segala kemudahan fasilitasnya akan memesan makanan dari katering tertentu yang sudah siap di meja. Sementara itu, sekolah di desa yang saya datangi, memiliki cara yang cukup unik.

Wali murid diwajibkan membawa satu buah set makanan di dalam baskom besar. Di dalam baskom itu berisi nasi, lauk pauk, dan tentunya yang menjadi hal wajib adalah pithik ingkung (ayam potong 1 buah utuh). Pithik ingkung ini seakan menjadi syarat selamatan dari wali murid Kelas 6 bagi kelulusan siswa mereka.

Pithik ingkung yang dibawa oleh setiap anak. - Dokpri
Pithik ingkung yang dibawa oleh setiap anak. - Dokpri
Baskom-baskom itu akan ditampung di beberapa ruang kelas yang "dibedol" untuk digunakan sebagai ruang makan. Nantinya, ada guru kelas dan perwakilan wali murid yang akan menata sedemikian rupa meja makan. Mereka akan menata lauk-pauk menurut jenisnya, semisal sambal goreng, perkedel, mie goreng, ataupun beberapa sayuran. Sementara, pithik ingkung akan dipotong sedemikian rupa hingga tampak apik memenuhi meja hiding. Acara makan-makan akan diadakan selepas seluruh kegiatan usai. Diikuti oleh siswa, guru, wali murid, dan  pejabat, semua tampak larut menikmati hidangan itu. Ah, asyik.

Siswa SD di tempat saya mengajar telah mendapat konsumsi kue dan nasi yang dipesan melalui katering. - Dokpri
Siswa SD di tempat saya mengajar telah mendapat konsumsi kue dan nasi yang dipesan melalui katering. - Dokpri
Terakhir, walau inti acara perpisahan yang ada di kota maupun desa sama, namun acara selingan di sekolah kota jauh lebih banyak. Perpisahan kelas 6 juga menjadi ajang unjuk gigi ekstrakurikuler siswa kelas 1-5. Segala ekskul, mulai menari, menyanyi, hingga olahraga akan tampil. Sementara, untuk sekolah desa, acara selingan hanya sambil lalu. Acara lebih banyak difokuskan pada pemberian informasi pendidikan dari para pejabat terkait.

Tak sekadar melepas siswa Kelas 6, acara ini juga kerap menjadi ajang unjuk gigi ekstrakurikuler di sekolah, seperti fashion show ini.- Dokpri
Tak sekadar melepas siswa Kelas 6, acara ini juga kerap menjadi ajang unjuk gigi ekstrakurikuler di sekolah, seperti fashion show ini.- Dokpri
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Nah, itulah sedikit perbedaan acara perpisahan SD di kota dan desa. Perbedaan ini tidaklah mutlak dan sangat mungkin ada banyak variasi di dalamnya, terutama di pinggiran kota yang menjadi batas antara desa dan kota.

Sekian, salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun