Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Memaafkan, Kunci Menjalin Hubungan Manusia yang Merepotkan

26 Mei 2019   03:00 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:31 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. - Dokpri

Saya sangat menyesal pernah menjadi seorang yang pendendam.

Entah, bagaimana mulanya. Yang jelas, pada masa itu, saya tidak bisa mengeluarkan emosi negatif di dalam diri saya dengan baik. Saya pendam lama dan terus saya pendam hingga akhirnya pada sebuah titik saya benar-benar harus mengeluarkan itu semua dalam keadaan yang sangat tidak baik.

Jika Anda pernah melihat tayangan MNC TV yang dipandu oleh Ustad Danu, boleh percaya boleh tidak, saya pernah mengalami keadaan itu. Beberapa makhluk halus, yang diidentikkan dengan jin masuk ke dalam tubuh saya.

Memenuhi rongga perut sehingga saya menderita GERD berkepanjangan dan masuk di sekitar tengkuk dan berakibat saya menderita sakit kepala yang luar biasa. Untunglah, saya memiliki seorang paman yang bisa melakukan rukyah syar'i.

Tidak perlu diceritakan bagaimana prosesnya, yang jelas, semuanya terjadi begitu cepat dan saya tidak bisa mengendalikan ucapan yang keluar dari mulut saya. Kala ditanya siapa saja yang ada di dalam tubuh saya, dengan entengnya saya menjawab tempat-tempat yang pernah saya datangi, terutama tempat-tempat yang sebaiknya tidak saya datangi.

Hingga akhirnya, ada satu titik di mana saya menyadari bahwa selain berbuat baik, beribadah, dan beberapa hal baik lain, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan: Mengendalikan amarah dan seteru terhadap orang lain.

Sesuatu yang kelihatannya mudah, namun sulit sekali dilakukan. Jujur, sampai saat ini, kala saya mendapatkan perilaku yang kurang baik, ada kalanya saya masih tidak bisa mengendalikan diri. Saya pun mulai menganalisis mengapa saya sulit sekali memaafkan kesalahan orang lain yang pernah menyakiti saya.

Alasan utamanya adalah belum ikhlasnya hati dalam menerima apapun yang kita jalani, kita dapatkan, dan yang digariskan Tuhan kepada kita. Ikhlas, suatu pelajaran berharga yang sekolahnya sampai akhir hayat.

Beberapa alasan yang membuat saya mudah marah adalah ketika ada orang, terutama orang dekat yang hanya datang ketika mereka membutuhkan saya. Ketika mereka sudah tidak butuh lagi, mereka akan pergi. Amarah saya semakin bertambah jika orang tersebut datang untuk memanfaatkan kebaikan saya. Terus melakukan permintaan di luar batas kewajaran yang akhirnya pada suatu titik saya merasa muak dan memiliki amarah yang besar.

Saya akan meninggalkan orang tersebut, tidak menyapanya, dan tidak mau tahu apapun yang ia kerjakan. Ini adalah titik marah terbesar saya, mengacuhkan orang yang pernah dekat dengan saya apapun yang ia lakukan. Lantas, apakah saya mendapat manfaat dengan melakukan hal itu?

Jawabannya adalah tidak. Saya malah mendapat banyak kerugian dari sikap tersebut. Saya jadi terus sakit hati bila bertemu dan bertegur sapa di suatu acara, merasa kikuk, dan sederet rasa tidak enak lain.

Sulit memang jika kita memendam amarah tersebut terlalu lama. Namun, akhirnya saya menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mengurangi rasa sakit itu adalah memaafkan mereka. Ikhlas dengan apa yang mereka perbuat dan memulai lembaran baru dalam hubungan antar manusia.

Walau demikian, mengingat saya tidak ingin kejadian yang tidak mengenakkan terulang, saya masih menjaga jarak dengan orang-orang tersebut. Menjaga jarak bukan berarti memutus tali silaturahmi. Artinya, saya masih biasa saja dan ramah dengan mereka seakan tak terjadi apa-apa.

Namun, jika ada tanda-tanda ada keinginan dari mereka untuk memanfaatkan saya lagi, maka saya akan tegas menolak dengan halus dan membantu mereka sebisa saya. Kini, bagi saya, kala membantu orang lain bukan seberapa besar bantuan itu kita berikan tapi seberapa ikhlas bantuan tersebut tersedia dari kita. Kalau tidak ikhlas, lantas buat apa?

Kunci untuk ikhlas merupakan salah satu kunci dalam perang melawan diri sendiri. Ketika belum ikhlas, ada rasa mengganjal yang amat sangat dan membuat diri kita menjadi kalah. Menjadi tidak semangat menjalani hidup, tidak berkonsentrasi dalam beraktivitas, dan tidak sungguh-sungguh dalam beribadah.

Bersyukurnya, saya masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk menempa diri belajar ikhlas, mengendalikan amarah, dan menghindari perseteruan. Jika pada beberapa kesempatan yang lalu saya pernah menuangkan keinginan untuk mencoba mengkhatamkan Al-Quran dan mengurangi penggunaan media sosial, maka dua cara itulah yang paling ampuh untuk meredakan amarah dan perseteruan. Di samping, kegiatan menulis yang lebih intensif untuk saya jalani.

Saya mulai menelaah kembali beberapa ayat-ayat Al-Quran mengenai pentingnya untuk bersikap ikhlas. Salah satunya adalah kutipan ayat dari Surat Al-Insan ayat 8-12. Jika disimpulkan, ayat tersebut mengajarkan pada kita bahwa dalam beramal, hanya ridha kepada Allahlah yang diharapkan. Tidak ada harapan balasan terima kasih dari apa yang sudah diberikan.

Satu poin ini mengajarkan keikhlasan dalam memberi. Kadang, dalam memberi, kita masih sedikit berharap ada timbal balik dalam pemberian kita. Inilah yang menjadi pelajaran berharga, terutama dalam diri saya, bahwa ketika ada orang yang saya bantu namun tidak memberikan apresiasi barang sedikitpun, maka saya harus mengikhlaskan. Tidak boleh ada sedikitpun bibit amarah.

Selain ikhlas, maka langkah yang paling tepat untuk menghindari perselisihan dari sikap tidak ikhlas adalah memberi maaf. Sesuai kandungan Surat Al-Baqarah ayat 237, sikap saling memaafkan merupakan indikator awal lahirnya kebaikan dan ketakwaan seseorang. Sikap ini akan menghilangkan ego untuk mempertahankan kebenaran pribadi yang masih saja timbul. Yang menjadi bibit utama untuk menimbulkan amarah dan perseteruan.

Di dalam QS Fushilat ayat 34-35, malah ada level yang lebih tinggi lagi dalam upaya untuk meredam amarah dan perseteruan, yakni membalas kejahatan yang pernah diterima dengan kebaikan. Sesuatu yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Narasi kisah beliau yang membalas keburukan orang yang meludahi beliau saat pergi ke masjid dengan hantaran makanan ketika orang penganggu tersebut sakit adalah narasi yang paling mengena. Untuk apa menyimpan dendam?

Sekali lagi, sebagai sebuah kesimpulan, di bulan Ramadan ini saat kegiatan lebih banyak dicurahkan untuk beribadah, maka tensi untuk menaikkan amarah sudah sejatinya diturunkan atau bahkan dikubur dalam-dalam. Lebih memahami kembali tafsir dari Al-Quran akan membuat hati tenang dan menjadi lebih sadar bahwa perseteruan tidaklah akan memperoleh kebahagiaan.

Hubungan antar manusia memang merepotkan. Tapi kita tidak bisa hidup sendiri. Setiap manusia merupakan makhluk yang lemah. Kita haruslah hidup saling membantu. Membantu dalam keikhlasan dan pengertian untuk saling menjaga amarah serta perseteruan untuk meraih kemenangan.

Salam.
***
Sumber :
(1) (2) (3)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun